Pada suatu kali bangsa itu bersungut-sungut di hadapan TUHAN tentang nasib buruk mereka, dan ketika TUHAN mendengarnya bangkitlah murka-Nya, kemudian menyalalah api TUHAN di antara mereka dan merajalela di tepi tempat perkemahan. Lalu berteriaklah bangs aitu kepada Musa, dan Musa berdoa kepada TUHAN, maka padamlah api itu. Sebab itu orang menamai tempat itu Tabera, karena telah menyala api TUHAN di antara mereka. (Bilangan 11:1-3)
Kompasianer yang terkasih, peristiwa dalam bacaan ini terjadi untuk kesekian kalinya, yaitu bangsa Israel bersungut-sungut kepada Tuhan. Menurut KBBI, 'bersungut-sungut' artinya mencomel; menggerutu. Kata 'mencomel' artinya mengeluarkan perkataan yang tidak keruan maksudnya (krn marah, mendongkol, tidak suka dsb). Sedangkan kata 'menggerutu' dari kata dasar 'gerutu' yang artinya perkataan yang diucapkan dengan cara bergumam terus menerus karena rasa mendongkol atau tidak puas dengan keadaan atau peristiwa yang dialaminya.
Dengan demikian, 'bersungut-sungut' dari artinya menurut KBBI cocok dengan teks Ibraninya yang menunjukkan bahwa persungutan umat Tuhan itu terjadi berulang-ulang. Ini terbukti pada peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah yang terjadi pada pembacaan ayat-ayat pokok di atas. Apa sih yang dipersungutkan oleh bangsa Israel? Tentang nasib buruk mereka! Oh, pantas saja bangkit murka Tuhan dan menyalalah api Tuhan di antara mereka dan merajalela di tepi perkemahan.
Mari kita melihat tiga penyebab umat Tuhan bersungut-sungut dalam perjalanan mereka di padang gurun:
1. Israel tidak percaya kepada Tuhan.
Bangsa Israel beribadah kepada Tuhan sebatas ritual agama, namun dalam praktik hidup sehari-hari mereka lebih sering tidak percaya kepada Tuhan, Allah yang disembah itu. Setengah percaya itu sama dengan tidak percaya! Mereka tidak percaya bahwa Tuhan telah berjanji untuk membawa mereka ke tanah yang melimpah dengan susu dan madunya. Mereka lupa pada perbuatan-perbuatan mujizat yang ajaib yang Tuhan perlihatkan kepada mereka saat keluar dari Mesir.
2. Israel memiliki sudut pandang yang keliru.
Mereka berpikir, bahwa setelah keluar dari perbudakan di Mesir hidup mereka akan segera lebih baik secara jasmani. Ternyata yang mereka alami tidak seperti yang dijanjikan Tuhan. Di Mesir, meskipun mereka budak yang lelah bekerja dan tertekan, tetapi masih bisa pulang ke rumah. Sedangkan dalam status mereka sebagai umat Tuhan yang merdeka, mereka justru lelah berjalan di padang gurun yang gersang dan tidak tahu kapan tibanya ke tanah perjanjian.
Israel tidak mempunyai sudut pandang yang benar, mereka tidak menyadari bahwa padang gurun hanyalah jalan, bukan tujuan utama yang dimaksudkan Tuhan. Kesusahan dan penderitaan adalah proses yang harus dijalani, dan bukan hasil akhir. Itu sebabnya mereka melihat diri mereka bernasib buruk. Ingat, iman adalah dasar untuk melihat masa depan yang baik, dan iman itulah yang membuat umat mengerti, bahwa Tuhan pasti melakukannya (bandingkan Ibrani 11:1, 3). Jadi, mindset umat itu menentukan.
3. Israel tidak memiliki rasa puas kepada Tuhan.