Mohon tunggu...
Theodorus
Theodorus Mohon Tunggu... Bankir - Good people

Good People

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dosen Hidup dari Uang Mahasiswa atau Mahasiswa yang Hidup dari Uang Dosen?

10 November 2020   11:46 Diperbarui: 10 November 2020   17:30 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya punya sebuah cerita. Kita sebut saja dongeng siang karena ceritanya cukup panjang. 

Beberapa tahun silam saya pernah menjadi dosen. Sempat berpindah mengajar di 3 Universitas Swasta. Pada saat masih di salah satu universitas swasta ada sebuah tindakan nyeleneh yang pernah dilakukan oleh seorang Mahasiswa pada seorang rekan dosen di kampus saya, yang usianya lebih senior dari saya. 

Kampusnya tidak perlu disebutkan. Karena sebetulnya kejadian ini cukup menjadi konsumsi pihak internal kita saja saat itu. Namun saya share kan di sin karena saya yakin Kompasiana isinya member dengan pikiran terbuka. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Tak perlu menebak-nebak soal kampus di kolom komentar. Kita fokus saja ke esensinya saja.

Tahukah apa hal yang nyeleneh yang dilakukan si mahasiswa itu?

Gini. Satu hari si mahasiswa ini mengirimkan sebuah pesan WA. Isinya berupa foto slip bukti pembayaran semester dari mahasiswa yang bersangkutan kepada seorang dosen pembimbingnya. Sang dosen yang merasa aneh lalu membalas lah pesan itu.

"Kamu salah kirim ya?" Balas rekan dosen ini (RD)

"Salah kirim? Tidak kok pak" jawab mahasiswa (M).

"Ini kan bukti pembayaran, betul?" (RD)

"Tuh bapak tahu" (M)

"Harusnya kamu kirim ke bagian akademik dong, bukan ke saya" (RD)

"Sudah saya kirimkan ke akademik. Sekarang saya kirimkan kepada anda" (M)

"Maksudnya?" (RD)

"Supaya kamu tau. Kalau kamu itu itu digaji dari uang bayaran saya juga t*l*l !!!!!!!. Kamu itu dibayar oleh saya a*u! . harusnya kamu melayani saya. Saya kan customer. Pelanggan kamu"

Sampai di sini rekan saya yang dosen ini tidak membalas lagi. Dan mahasiswa itu menghilang tidak pernah masuk kampus lagi. Padahal sudah tingkat akhir skripsi. 

Rekan dosen ini awalnya berniat membawa ini ke ranah hukum untuk memberi pelajaran kepada mahasiwa itu. Tapi ternyata rekan dosen ini berpikir dua kali setelah tahu bahwa si mahasiswa ini adalah anak dari seorang pejabat yang cukup punya pengaruh dan banyak di keluarganya yang juga berprofesi aparat.

Kemudian dr kampus diutuslah seorang dosen lain (seorang wanita) untuk coba menghubungi mahasiswa itu. Mahasiswa pun bisa dihubungi dan bisa terbuka alasan dia melakukan itu. 

Alasannya karena si mahasiswa ini jengkel kepada dosen karena sering susah dihubungi, ditelepon tidak diangkat, di WA hanya di read saja, janji datang hari ini jam segini datangnya malah jam segitu padahal katanya kalo kuliah gak boleh telat. 

Skripsi dicorat coret dikasih tanda tanya gak jelas maksudnya apa. Hari ini suruh revisi jadi C, besok jadi E, rubah lagi jadi A. Plin plan. Jengah si mahasiswa ini. Akhirnya dia bilang pada dosen wanita yang menelepon ini bahwa dia akan mengundurkan diri saja. Dia bilang kalau uang registrasi semester itu dia anggap sumbangan buat kampus. 

Dan kampus buat menggaji dosen bimbingan dia itu. Terdengar angkuh? Memang. Tapi di sisi lain ada hal yang perlu menjadi instrospeksi kita bersama.

Saat itu, Kampus pun sempat rapat dulu. Rapat hanya di lingkungan jurusan saja. Jika dilihat record akademisnya mahasiswa ini cukup potensial. 

Nilainya bagus tak ada nilai C, cukup aktif di kegiatan mahasiswa juga dan dikenal supel diantara teman-temannya. Karena si anak ini adalah anak dari orang yang cukup punya pengaruh di wilayah setempat, kampus pun tak mau memperpanjang masalah dan menjaga agar berita hal ini tidak menyebar. 

Berbagai upaya pun dilakukan seperti menawarkan penggantian pembimbing, pembebasan uang 2 semester ke depan jika skripsi belum selesai. Tapi mahasiswa kekeuh bilang mau mundur saja. Kapok kuliah di situ katanya.

Sang dosen pun mendapat teguran dari pihak kampus. Setelah pemeriksaan oleh sebuah tim yang dibentuk, dosen ini dianggap lalai.

Dan dia pun masih beberapa kali mendapatkan teror dari mahasiswa. Bahkan mahasiswa dalam chatnya mengungkapkan beberapa kalimat. Bagi sebagian kita rangkaian kalimat itu pasti membuat mengelus dada.

"Kalau mau lapor polisi lapor lah sekarang mumpung kamu belum tambah tua. Saya dan pasukan pun juga sudah siap counter buat ancurin kamu"

"Kalau uang penghasilan mu belum cukup bilang sini, saya kasih gaji tambahan. Ayo sini. Kapan mau ketemu. Saya kasih kamu tambahan uang jajan biar kamu ngajarnya bener"

Bapak ibu, saudara sekalian apa yang dilakukan si mhasiswa ini memang tidak bisa dibenarkan. Sekali lagi tidak bisa dibenarkan. Tapi di sisi lain hal ini bisa jadi teguran atau masukan buat gaya pendidikkan kita.

Sekarang zamannya udah beda. Zaman millenial katanya. Bukan lagi zaman kolonial. Anak millenial itu pinter-pinter, tingkat melek teknologinya sangat tinggi. Banyak diantaranya yang pada usia mahasiswa sudah mampu menghasilkan banyak uang. Jutaan, puluhan juta bahkan ratusan juta dengan cara berdagang online, menjadi youtuber, membuat aplikasi program, trading online dan banyak lagi. 

Suatu hal yang mutlak tidak bisa dilakukan oleh para pengajar berusia tua di masa lampau. Zaman kini sudah bisa ditemukan mahasiswa yang sudah memiliki penghasilan jauh lebih besar bahkan dari dosen pengajarnya yang penghasilannya tidak seberapa kalau hanya dari mengajar. Dosen kerjane Sak-dos, gaji-ne sak-sen. Begitulah sebuah ungkapan lama.

Cara memperlakukan anak-anak millenial dalam pendidikkan ini tentulah tidak bisa dengan gaya kolot, atau gaya kolonial seperti zaman dulu.

Anak-anak millenial lebih suka hubungan setara sebagai teman. Ini kadang berlawanan dengan banyak pengajar di Universitas yang masih menerapkan gaya kolonial. Bahwa dosen dan mahasiswa itu harus seperti atasan-bawahan, majikan-pembantu, atau bahkan kolonial-rakyat koloni. Ini tentu sudah bukan zamannya lagi.

Banyak pengajar zaman sekarang di kampus-kampus yang masih mengharapkan mahasiswa itu menunggu lama berjam-jam menantikan dirinya, atau mengharapkan mahasiswa bingung-bingung dulu buat skripsi dikerjai dulu suruh ini suruh itu. Dipingpong dulu suruh ke sini dan ke sana. Ada kan yang masih menganut model begitu?

Masih ada juga pengajar/dosen yang bilang "ah dulu juga saya nunggu pembimbing sampai 7 jam. Ini baru nunggu 2 jam saja sudah protes. Cengeng"

Hmm tidak bisa begitu juga.

Jika berpikiran begitu maka analoginya mirip dengan "ah saya dulu ke sekolah aja gak pake sepatu. Jalan di sawah nyeker. Anak-anak sekarang masa minta sepatu. Cengeng"

Gak bisa gitu, zamannya sudah berubah.

Generasi Millenial yang lahir mulai tahun 80 hingga 90 akhir (atau ada yang menyebut hingga tahun 2000 awal) itu punya karakteristik beda dari generasi sebelumnya. Mereka dinamis, inovatif, tidak suka cara-cara kolot, tidak suka dikekang, berani menentang dsb. Sudah banyak jurnal-jurnal ilmiah yang mengangkat isu tentang generasi millenial ini. 

Dalam dunia pekerjaan juga mereka tidak segan-segan mengkritisi atau memprotes atasan, bahkan keluar kerja dan mendapatkan kerja lagi dengan begitu mudahnya. Kemudian Salah satu yang jadi sorotan buruk dari generasi milenial adalah bahwa kadang mereka ini kurang memperhatikan etika.

Tapi bagaimana pun, kita juga perlu sadar bahwa berbagai terobosan yang mengubah kehidupan kita lebih mudah saat ini, siapakah yang menciptakan? Generasi millenial.

Tokopedia, bukalapak dimana setiap orang bisa dengan mudahnya berjual beli. Siapa yang menciptakan?

Gojek, dimana bisa menyerap pengangguran yang begitu banyaknya. Bahkan kemarin ada yang cerita lulusan sarjana menjadi driver gojek untuk menyelamatkan kehidupan diri dan keluarganya. 

Siapakah pencipta gojek ini? Generasi milenial. banyak lulusan sarjana kampus lain tertolong dengan adanya gojek ini. 

Di saat para pengajar bergaya kolonial hanya mencetak para pengangguran dari para sarjananya karena hanya mengajar teori, gojek ciptaan kaum milenial inilah yang menolong para pengangguran itu.

Kitabisa, sebuah platform untuk menghubungkan donatur dan pihak yang membutuhkan di seantero tanah air secara transparan dengan mudahnya, juga diciptakan oleh seorang Milenial.

Ruangguru, siapa yang buat? Dan masih banyak lagi. Kembali lagi pada judul di atas.

Saat menjadi dosen dulu terkadang saya merasa sedih melihat tak sedikit pengajar/dosen yang men-treat mahasiswanya masih bergaya kolonial. 

Pernah saya bertemu ada mahasiswa di kampus sore hari menjelang malam. Rumahnya jauh ongkos segitu-segitunya janjian datang bertemu dosen. Eh dosennya katanya membatalkan sepihak minta ganti waktu. Saya tidak menulis semuanya begitu ya.

Sebetulnya siapakah yang membayar? Mahasiswa membayar dosen (lewat universitas) atau dosen yang membayar mahasiswa? Ya, Mahasiswa lah yang membayar. Apalagi jika di kampus swasta, Mahasiswalah yang juga turut menghidupi kampus. Kampus menggaji dosen.

Mahasiswa bisa belajar sendiri tanpa ada dosen di kelas. Sering kan terjadi begitu dosen ada proyek lalu mahasiswa dikasih tugas belajar sendiri di kelas. Lumrah kan?

Tapi kalau dosen mengajar sendiri di kelas apa bisa tanpa ada mahasiswa? Tidak. Makanya dosen kalau tak masuk akan selalu minta ganti jadwal. Kenapa? Karena mereka butuh penonton saat mengajar. Kan lucu kalo dosen cuap-cuap mengajar sendiri di kelas kosong tanpa mahasiswa. Apakah lumrah? Tidak.

Mahasiswa adalah Customer di perguruan tinggi. Banyak dosen yang melihat peluang ini akhirnya jualan buku. Disuruh beli buku dengan iming-iming nilai. Padahal sebetulnya gak penting-penting amat juga bukunya. Sumber digital sudah banyak kok. Sudah dibeli bukunya eh gak sadar diri lagi mahasiswanya dipersulit. Ketemu aja sulit, wA hanya di read. Ini kan gaya kolonial.

Melalui tulisan ini saya mengajak kita semua untuk meninggalkan gaya kolonial dalam pendidikkan kita. Bagaimana pun murid atau mahasiswa itu adalah customer yang harus diservice dengan baik. Lah wong mereka yang membayar. Murid/mahasiswa tanpa pengajar bisa belajar sendiri istilahnya OTODIDAK. Tapi kl  pengajar mengajar sendiri tanpa murid/mahasiswa apa coba istilahnya? Gak ada karena memang gak bisa.

Saya juga tidak mengatakan semua pengajar itu kolonial. Tapi hal itu masih bisa kita lihat hingga hari ini bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun