Menjadi seorang perempuan saja sudah hebat. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak dan keluarga juga jauh lebih hebat.Â
Perempuan telah terbiasa melakukan pekerjaan yang sulit dilakukan oleh laki-laki. Hanya perempuan yang bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus. Memasak sambil mengurus anak, atau sambil bersih-bersih.Â
Mereka kaya dengan ide-ide cemerlang, ketika menjadi ibu rumah tangga atau saat menjadi wanita karir, semua ada porsinya masing-masing. Wah, luar biasa banget!
Kehebatan perempuan tidak terbatas disitu. Tidak sedikit perempuan yang berani menembus batas untuk mengembangkan diri mereka, salah satunya menjadi peneliti.Â
Yeps, menjadi seorang perempuan yang terlibat dalam penelitian bukanlah hal yang baru. Sudah banyak perempuan yang memberi kontribusi besar dalam dunia penelitian.
Sebut saja Dr. Adi Utarini yang terlibat dalam proyek eliminasi demam berdarah menggunakan bakteri Wolbachia, atau Dr. Tri Mumpuni, si Kartini Mikrohidro yang memanfaatkan aliran air kecil di pedesaan untuk menghasilkan listrik, dan masih banyak perempuan hebat lainnya.
Menjadi seorang peneliti perempuan, selalu ada kisah menarik, dan ada drama-drama lain yang mengikuti, yang menjadi penarik atau penghambat dalam perjalanan penelitian itu sendiri.
Dipandang sebelah mata
Dalam dunia kerja seperti penelitian, perempuan kerap dihadapkan pada stereotip yang melekat pada dirinya. Stereotip bahwa perempuan tidak kuat secara fisik, atau lebih lemah daripada laki-laki, menjadi penghambat dalam penelitian lapangan yang menuntut mobilitas yang tinggi.Â
Perempuan sering tidak dilirik untuk proyek penelitian yang membutuhkan perjalanan menuju wilayah yang jauh dari tempat tinggal atau sulit terjangkau, adanya anggapan bahwa perempuan lebih cocok untuk urusan administrasi, padahal kemampuan yang dimiliki setara dengan laki-laki.