Tak afdol rasanya ketika pergi ke suatu tempat, namun melewatkan momen memanjakan diri sendiri. Memanjakan diri versi me, salah satunya adalah menikmati suatu sudut yang membuat hati bahagia. Tentu saja, ukuran bahagia untuk setiap orang berbeda-beda, jadi tidak bisa dibandingkan antara satu dengan lainnya.Â
Perjalanan mengunjungi suatu lokasi pun menjadi salah satu hal yang bisa dinikmati. Bahkan bisa membuat hormon endorfin mengalir dengan lancar. Sesimpel itu.Â
Menikmati penerbangan eksklusif
Penerbangan dari Kupang menuju Ende kali ini benar-benar terasa istimewa. Bagaimana tidak, penerbangannya tepat waktu, dan... penumpangnya hanya enam orang! Saya bersama seorang teman, serasa sedang menikmati terbang dengan pesawat pribadi.Â
Awak pesawat meminta kami berdua untuk duduk di bagian paling depan, persis di bagian jendela darurat. Dibekali dengan instruksi bagaimana cara membuka jendela darurat saat terjadi suatu hal yang tidak diinginkan.
Empat penumpang lainnya, duduk di bagian paling belakang. Memang, cuaca di musim penghujan yang kurang bersahabat, menjadi salah satu penyebab mengapa pesawat nyaris kosong. Harga tiket pesawat antar pulau yang selangit pun menjadi alasan berikutnya.Â
Ya, sejak tidak beroperasinya beberapa maskapai yang tadinya melintas antar pulau, dominasi satu maskapai saat ini kemudian menjadi penyebab harga tiket gila-gilaan seperti sekarang.
Monumen Pancasila di Simpang Lima
Ini bukan Simpang Lima di Semarang yang terkenal itu. Simpang Lima ini terletak persis di depan bandara H. Hasan Aroeboesman di Ende. Disini juga ada Monumen Pancasila.
Monumen ini dibangun kembali setelah gempa bumi tektonik 12 Desember 1992. Monumen ini dilengkapi dengan lima pilar bermotif yang berdiri tegak beserta lima sila Pancasila tertulis di atas plakat berwarna hitam.Â
Di hadapan monumen ini, terdapat spot pandang Kota Ende. Dari sini kita bisa melihat sebagian Kota Ende dan deretan gunung di belakangnya. Sunset yang indah terlihat dari arah bagian belakang monumen.
Kopi lokal dan Percetakan Nusa IndahÂ
Ende, memiliki jenis kopi yang terasa nikmat di lidah. Kopi Sokoria. Kopi ini termasuk jenis Arabica yang ditanam di atas ketinggian 1200-1400 mdpl. Namun, masih ada jenis lainnya yang bisa ditemukan di sana, termasuk Robusta, juga Y. cattura dan Juria yang rasanya jauh lebih enak dan harganya lebih mahal.
Sebagai pencinta kopi, Saya ingin menikmati kopi lokal yang ada di sana. Juga tempat nongki yang nyaman, tidak begitu ramai. Perkara tempat nongki ini sebenarnya tanpa sengaja, ketika Saya berkunjung ke Serambi Soekarno di Ende yang terletak di Biara Santo Yosef, persis di sebelah Gereja Katedral.
Om Berto, yang rela mengantar kami berkeliling Kota Ende sore itu, menawarkan sebuah tempat nongki yang katanya bagus. Katanya lagi, letaknya sangat dekat dengan Serambi Soekarno.Â
Penasaran, Saya bersama teman Saya mengiyakan. Benar saja, ternyata jaraknya sangat dekat. Hanya butuh seratus langkah kurang lebih. Om Berto membawa kami menyusuri bengkel pertukangan milik misi. Persis di sebelah bengkel misi tersebut, terdapat bangunan tua yang menjadi tempat percetakan Nusa Indah.
Saya ingat persis, sekitar tahun tujuh puluh atau delapan puluhan, Nusa Indah menjadi satu-satunya percetakan di Flores. Percetakan ini juga memiliki Toko Buku Nusa Indah yang tersebar hingga ke Manggarai saat itu dan menjual hasil cetakannya di sana.Â
Akhirnya Saya menemukan tempat yang penuh sejarah itu. Sayangnya, Saya tidak sempat mengintip ke dalamnya, karena terburu-buru dan pintunya tertutup rapat.
Bangunan lama Biara SVD yang dimanfaatkan
Kami melewati tanjakan kecil di samping bangunan. Kondisi bangunan tua dan lokasi sekitar yang sepi membuat kami ragu-ragu. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.Â
Pintu masuk tempat nongki itu, pagarnya dibuka setengah. Kami melangkahkan kaki ke sana, tidak berani berekspektasi tinggi. Takut kecewa terlalu dalam.Â
Begitu tiba di mulut pagar, warna warni lampu yang hangat berderet menyambut kedatangan kami. Waaaah, seperti menemukan mutiara yang terpendam. Ini dia! Jeprat jepret sana sini pun tak mampu dilewatkan di ujung tangga.Â
Alunan musik terdengar lembut dari sana. Kami menuruni beberapa anak tangga. Beberapa anak muda duduk di meja kayu sambil menikmati kopi asli.Â
Di sudut meja, seorang lelaki mengenakan kaos putih duduk santai sambil mendiskusikan sesuatu dengan anak muda di depannya. Tumpukan kertas di atas meja segera dirapikannya begitu kami mendekat.
Om Berto kemudian memperkenalkannya kepada kami. Ternyata dia adalah Pater Joan, yang mengelola kafe unik tersebut. Pater Joan dengan keramahannya, menyambut kedatangan kami dan menawarkan kami untuk melihat sisi lain dari kafe tersebut.Â
Kafe, yang diberi label The Box Cafe tersebut rupanya merupakan bagian dari bangunan lama Biara SVD. Dipastikan bahwa bangunan tersebut usianya telah puluhan tahun bila dilihat dari bentuk serta konstruksinya.Â
Memanfaatkan sisi bagian belakang bangunan, lokasi ini kemudian disulap menjadi sebuah lokasi tongkrongan asyik bagi masyarakat Ende. Tempat nongki ini dibangun dengan konsep yang unik.Â
Sepanjang lorong dimanfaatkan untuk kafe, sekedar minum kopi dan menikmati pisang goreng atau sosis yang dibandrol dengan harga yang murah.Â
Lantai dilapisi paving blok kombinasi merah marun dan krem. Bangku dan meja dari kayu, ditata dengan apik. Sepanjang dinding bangunan terdapat cerita tentang jejak misionaris dalam bingkai. Tidak lupa pesan-pesan ispirasi juga ada di sana.Â
Pada sisi bagian dalam, terdapat ruang-ruang berukuran masing-masing enam meter persegi untuk kepentingan penyiaran, editing, fotografi dan lainnya. Komplit.
Namun, Saya tidak punya waktu untuk ngobrol lebih lama dengan Pater Joan, karena Pater telah kembali sibuk dengan pekerjaannya, mungkin mengedit sesuatu.
Menurut Saya, ini adalah lokasi yang inspiratif. Tidak hanya sekedar nongkrong, tapi juga bisa berbagi kisah.
Saya menikmati secangkir kopi hitam dengan aroma jahe di dalamnya dengan perasaan bahagia. Musik Saya telah menunggu. Beberapa irama bossanova telah dimainkan, jazz pun tak mau ketinggalan.Â
Bah, bahagiaku ternyata sederhana.Â
Kupang, 2 Maret 2024
Ragu Theodolfi, untuk KompasianaX
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H