Bagian yang paling disukai dari sebuah perjalanan adalah tentang perjalanan itu sendiri, kenangan tentang sesuatu di dalamnya, selain menikmati pemandangan alamnya.
Pesawat ATR72-600 siap membawa Saya menuju Labuan Bajo. Lumayan, koper bisa masuk bagasi, tanpa dikenakan biaya tambahan.
Perjalanan ke Flores menggunakan pesawat kecil, biasanya dikenakan pembatasan jumlah bawaan penumpang oleh maskapai.Â
Sekelompok pelancong naik sambil membawa bagasi yang lumayan banyak. Mungkin mau menikmati liburan panjang di Labuan Bajo dan sekitarnya.Â
Ya, sejak menjadi lokasi wisata super premium, Labuan Bajo selalu ramai dikunjungi wisatawan domestik.
Waktu menunjukkan pukul 10.50 ketika pada akhirnya 'burung besi' ini membawa Saya menari di udara. Sesuai dengan jadwal, tidak ada keterlambatan. Cuaca cerah hari ini, cukup menenangkan hati.
Pesawat berhenti sebentar di Bandara Soa, Bajawa. Beberapa penumpang turun di sana.Â
Tidak perlu menunggu lama, dua puluh menit kemudian burung besi ini kembali mengudara, menjelajahi deretan awan putih di atas bentangan hijaunya warna alam Pulau Flores.
Labuan Bajo memoles diri
Saya cuma punya waktu dua hari di sana, jadi tidak mungkin untuk bisa sampai ke pulau. Lagipula cuaca tidak bersahabat di bulan Februari menyebabkan pihak otoritas pelabuhan menghentikan pelayaran ke pulau-pulau sekitar Labuan Bajo.
Karena waktu senggang Saya hanya pada sore hari, jadi Saya memutuskan untuk menelusuri kota kecil itu sambil berjalan kaki.Â
Bermodalkan sebotol air mineral dari hotel, Saya mengelilingi area pelabuhan dan sekitarnya hingga wilayah sepanjang pantai Pede.
Ketika Saya menyambangi kota kecil ini empat atau lima tahun yang lalu, galian tanah ada di mana-mana. Debu yang melayang di udara serasa menerpa wajah, berlomba diantara teriknya matahari di musim kemarau.
Saat ini, jalanan utama di wilayah pelabuhan utama, sudah diaspal rapi bahkan dipermanis dengan tanaman perdu dan pohon sepanjang jalan.Â
Hanya sayang, kurang dirawat. Entah karena event besar sudah berlalu atau karena biaya operasional untuk pemeliharaan kurang, Saya melihat kesemrawutan pada beberapa titik utama.Â
Tempat cuci tangan di lokasi penjualan ikan bakar, sudah tidak berfungsi. Saya coba memutar kran air, juga tidak berfungi lagi. Bahkan, sarananya pun ada yang sudah rusak dan dipenuhi tisu.Â
Water Front yang digadang-gadangkan menjadi salah satu ikon Labuan Bajo, kurang mendapat perhatian serius dari pihak otoritas pelabuhan. Padahal lokasi ini beberapa kali menjadi pusat aneka kegiatan besar di sana.Â
Sangat disayangkan, bila aset yang luar biasa dan multi fungsi ini tidak ditata dengan benar.Â
Fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan, juga sangat minim dan tidak berfungsi. Kesadaran masyarakat akan pentingnya merawat fasilitas publik masih rendah, buktinya botol sisa minuman, plastik bungkus makanan, kertas dan lainnya berserakan dimana-mana.
Pada beberapa lokasi menuju arah Pantai Pede, jalanan lebih terasa berdebu. Geliat pembangunan di lokasi tersebut sangat kental terasa.Â
Hotel-hotel berbintang mulai bermunculan dan menimbulkan efek debu akibat sisa material atau karena sering dilalui oleh truk-truk bermuatan berat.Â
Pada beberapa sisi Pantai Pede, dipenuhi oleh penjual makanan minuman. Namun sayang, belum ditata dengan baik sehingga terlihat tidak rapi dan kumuh.
Sekali lagi, fasilitas sanitasi yang dilengkapi dengan air yang cukup, jumlahnya kurang atau mungkin tidak ada.Â
Saya menduga demikian karena aroma-aroma tidak segar bermunculan dari beberapa titik yang Saya lewati sepanjang pantai.
Wisata Golo Mori yang viral
Hari terakhir berada di Labuan Bajo, Saya menyempatkan diri menuju lokasi wisata yang sedang digandrungi anak-anak kekinian. Golo Mori.Â
Golo Mori, adalah sebuah desa di Manggarai Barat, terletak lebih kurang 16 km dari pusat kota, Labuan Bajo.Â
Wisata ini menjadi terkenal ketika ramai diperbincangkan bersamaan dengan kegiatan internasional ASEAN Summit ke 42, beberapa waktu lalu.
Lokasi yang sebelumnya terisolir ini, rupanya menyimpan pesona yang indah. Tidak hanya eloknya dinding-dinding bukit, tapi juga birunya warna laut serta rimbunan bakau yang mendukung ekosistem laut di sana.
Wilayah ini memiliki potensi wisata situs Golo Mori yang menyerupai gereja, terletak di puncak bukit nan indah, jejeran Pantai Pasir Panjang, Pantai Nggoer, Pantai Soknar, Pantai Lajar dan lainnya.Â
Sayangnya, Saya tidak punya cukup waktu untuk melihat setiap pantai yang ada ataupun naik ke atas bukit untuk menyaksikan situs Golo Mori.
Mengintip GMCC yang menawan
Perjalanan Saya berikutnya adalah menuju Golo Mori Convention Center (GMCC).Â
Kawasan meeting incentive conference and exhibition (MICE) yang diresmikan oleh Menteri BUMN, Erik Tohir, pada tanggal 6 Desember 2023 ini, memiliki infrastruktur akomodasi dan fasilitas berstandar internasional.Â
Setelah mendapatkan ijin dari penjaga pada portal utama, Saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk masuk dalam kawasan yang luas itu.Â
Melintasi jalan berkelok dengan pemandangan dinding bukit pada bagian kiri dan kawasan landai mengarah ke pantai pada bagian kanan, serasa Saya sedang berada di kisah-kisah dongeng yang indah.
Jarak dari jalanan umum ke dalam bangunan utama GMCC lumayan jauh dan mendaki. Lebih kurang lima hingga tujuh kilometer.Â
Deretan tiang putih untuk mengibarkan bendera dari berbagai negara menyambut kedatangan kami.
Tanaman monstera nan hijau dan subur menjadi pemanis arsitektur bangunan yang terlihat simpel namun sangat elegan dan berkelas.
Saya menyempatkan diri untuk naik ke roof top. Di atas terlihat jelas dinding bukit berwarna hijau pada latar belakangya, dengan warna langit yang cerah. Birunya laut menemani dari sisi sebelah kiri.
Pada lobby utama, didominasi dengan batu alam pilihan berwarna abu-abu kehijauan. Terlihat sebuah plakat peresmian, dengan bingkai berwarna merah yang kontras dengan warna dinding dan tulisan tinta emas di atasnya.Â
Gedung megah ini seluruhnya terbuat dari bahan-bahan yang berkelas. Lihat saja dinding pada bagian luar hall utama. Sekilas mirip anyaman rotan, namun lebih halus dari itu. Pintu utama hall yang sangat lebar dan tinggi, sangatlah indah.Â
Pada dinding lainnya, nuansa alam terpancar dari pilihan bebatuan dengan warna yang menyatu dengan lantainya. Memberi kesan dingin namun tetap hangat dan bersahabat. Dengan pagar pembatas dan lantai yang landai, membuat konsep bangunan ini juga aman untuk mereka yang disabilitas.Â
Tidak semua ruang dapat diakses dalam keterbatasan waktu. Jam keberangkatan penerbangan sudah semakin dekat. Namun melihat sebagian kecil bangunan semegah itu, Saya sangat bersyukur.Â
Mungkinkah suatu ketika Saya menjadi bagian dari mereka yang penting yang masuk ke sana?
Hanya Tuhan yang tahu.Â
Ende, 20 Februari 2024
Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H