Tinggal hitungan hari saja, kita sudah mengakhiri tahun ini. Sudah tentu banyak pencapaian yang telah didapat dengan kerja keras, dan juga pasti masih banyak hal yang belum sesuai harapan.
Banyak pelajaran yang telah ditimba selama setahun ini. Hal-hal tak terduga bisa datang dari siapa saja; dari orang yang kita sayangi, bahkan dari orang yang membenci kita sekalipun, atau mereka yang  selalu tidak bahagia bila kita ceria.Â
Saatnya bagi sebagian orang, termasuk Saya, melakukan refleksi.Â
Komunikasi menjadi salah satu bahan yang Saya refleksikan kali ini. Â Masalah komunikasi kerap menjadi penyebab rusaknya sebuah relasi. Urusan anak, rumah, hingga tuntutan pekerjaan, tak urung memberikan tekanan yang luar biasa dalam perjalanan hidup setiap hari.Â
Sehingga kadang karena saking letihnya, tanpa sadar, banyak pihak yang merasa sakit hati atau terluka karena kata-kata yang dilontarkan.
Lisanmu meninggalkan bekas yang dalam
Pelajaran tentang lisan ini juga Saya dapat tanpa sengaja ketika sedang curcol dengan beberapa anak gadis.Â
Kali ini, hati Saya tersentuh ketika seorang gadis yang kehilangan kedua orangtuanya, bercerita bahwa hatinya sangat terluka ketika ada yang melontarkan kata-kata setengah menuduh bahwa dialah yang menjadi penyebab kematian ibunya!
Hal yang diucapkan beberapa tahun silam, masih diingat dengan jelas, dan setiap mengingat hal itu, gadis itu merasa sangat terluka dan sangat sedih.
Lalu Saya teringat sebuah kisah yang pernah Saya baca. Tentang seorang anak yang memiliki masalah dengan pengendalian emosinya.
Orangtua anak lelaki tersebut, meminta anak itu untuk menancapkan paku pada  pagar kayu, saat dirinya merasa marah. Semakin marah sang anak, maka paku akan tertancap lebih dalam lagi. Â
Suatu ketika, sang Ayah meminta anak lelaki itu untuk mencabut kembali setiap paku yang telah ditancapkannya. Ketika paku-paku tersebut telah tercabut, anak lelaki itu melihat  yang tersisa di sana hanyalah bekas lubang yang dalam.Â
Demikianlah, setiap kata yang menyakitkan, meskipun waktu telah berlalu, terus akan meninggalkan  luka yang dalam.
Mengapa kita sulit menjaga lisan?
Sejatinya, lisan perlu dijaga agar tidak menyebabkan hubungan atau relasi dengan orang lain menjadi rusak. Setiap kata yang kasar, hinaan atau merendahkan orang lain dapat menyebabkan konflik, membawa pengaruh negatif pada kesehatan mental orang lain.
Setiap orang memiliki level berbeda ketika menghadapi stres. Â Konflik yang terjadi saat diserang dengan kata-kata yang menyakitkan, selain berdampak pada kesehatan fisik, juga menyebabkan mereka menjadi hilang respek terhadap orang yang menyakiti mereka.Â
Urusan tentang lisan yang sulit terjaga ini, kadang dilakukan tanpa sadar, ada juga yang melakukannya secara sadar. Setiap individu memiliki alasan yang berbeda untuk itu. Beberapa hal berikut, dapat menjadi pemicu mengapa lisan sulit dijaga.
Sulit mengendalikan emosi dan mengendalikan diri. Seseorang yang sedang emosi atau marah, cenderung sulit untuk mengendalikan kata-kata yang keluar atau  menjadi lebih rentan mengucapkan sesuatu yang mungkin tidak mereka ucapkan dalam keadaan tenang.
Ada orang tertentu yang memiliki kebiasaan untuk segera merespon suatu keadaan dan mengkritiknya tanpa memperhatikan dampaknya bagi orang lain.Â
Minimnya ketrampilan berkomunikasi dan kurangnya kesadaran diri. Beberapa orang mungkin tidak memiliki kesadaran diri yang cukup untuk memahami dampak kata-kata mereka pada orang lain.  Apalagi bila memiliki kebiasaan menggunakan kata-kata kasar,  menghakimi, atau tidak memiliki kemampuan yang baik untuk  menyampaikan pikiran dan perasaan mereka dengan cara yang positif dan membangun.
Kondisi kesehatan mental terganggu. Â Orang menjadi lebih rentan dan sulit menjaga kata-kata dengan baik, ketika sedang berada dalam kondisi kesehatan mental yang kurang baik.Â
Stres, kecemasan, Â depresi, dapat mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi dan ada kecenderungan untuk mengekspresikan ketegangan melalui lisan mereka.Â
Lakukan ini untuk menjaga agar lisan tetap baik
Ibarat cermin, semua hal  akan direfleksikan kembali kepada kita, baik atau buruk. Tergantung apa yang diberikan. Setiap hal yang baik, juga butuh latihan. Butuh kesadaran, pengendalian diri, dan komitmen untuk berkomunikasi dengan baik.Â
Bijaklah dalam berbicara. Mempertimbangkan setiap kata sebelum diucapkan pada orang lain dan memberi diri waktu untuk merenung sebelum merespon dalam situasi emosional adalah sangat bijak. Pikirkan dampaknya pada perasaan orang lain. Jangan biarkan kemarahan atau frustrasi menguasai percakapan.
Gunakan bahasa yang positif. Â Pilihlah setiap kata yang akan keluar dari mulut kita. Hindari menggunakan sindiran, kata-kata kasar, menghina atau merendahkan. Gunakan kata-kata yang membangun dan mendukung, bukan menjatuhkan seseorang.
Berikan empati. Sesekali, kita perlu memahami, mencoba melihat atau merasakan sesuatu dari perspektif orang lain. Apa respon yang akan kita berikan saat orang lain menyakiti perasaan kita? Cobalah untuk mendengarkan dengan penuh perhatian sebelum memberikan tanggapan.Â
Jangan lupa untuk memberi apresiasi. Â Ucapan terima kasih dan pujian yang tulus sangat berarti bagi orang lain. Fokuslah pada aspek positif dalam komunikasi komunikasi yang dibangun. Jangan ragu untuk mengungkapkan rasa syukur.
Bangun komunikasi terbuka. Bicarakan perasaan secara terbuka dan jujur dan cari solusi bersama bila ada konflik. Pastikan bahwa pesan yang ingin disampaikan dapat dipahami dengan jelas tanpa menimbulkan kebingungan.Â
Setiap pengalaman adalah pelajaran yang berharga. Belajarlah untuk terus memperbaiki diri, dan bersikap terbuka terhadap masukan dari orang lain.Â
Semoga kita  lebih bijak dalam berkomunikasi dan membangun hubungan yang sehat dengan siapapun.
Kupang, 29 Desember 2023
Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H