Adegan percakapan seperti  ini,  sudah sering Saya alami saat mengantri di tempat-tempat umum seperti bank, rumah sakit, perkantoran dan tempat lainnya.Â
Bila beruntung, tidak ditambah sebutan Bapak di depannya. Namun, jarang terjadi sih. Â Barangkali orang yang memanggil sendiri merasa ragu apakah nama istimewa ini masuk kelompok bapak atau kelompok emak.Â
Di Kompasiana sendiri juga demikian. Beberapa Kners menyapa dengan sebutan Pak, Bapak, Mas, padahal Saya sudah berusaha tampil gemoy dalam balutan tenunan Sumba Timur di foto profil. Â Ya, sutralah....Â
Memiliki nama yang tidak biasa, tidak selalu buruk
Memiliki nama yang sering bikin salah persepsi sejuta umat ini, tidak membuat Saya patah hati. Ada bagian senangnya.
Gara-gara nama unik ini, beberapa kali ketika ada kegiatan di luar kota, nama Saya tercantum dalam daftar nama  peserta laki-laki.Â
Kalaupun menginap dan harus berbagi kamar, oleh petugas hotel atau panitia, Saya akan ditempatkan sekamar dengan bapak-bapak lainnya. Buntut-buntutnya bisa diduga, Saya akan dapat kamar sendiri. Horeeee..!!
Gara-gara nama ini pula, sering jadi korban sampling ketika ada pertanyaan yang ditujukan pada peserta kegiatan. Fasilitator atau narasumber sering memilih nama-nama yang unik dan sedikit terdengar aneh di telinga.Â
''Coba, yang mana Bapak Ragu Theodolfi, berikan tanggapan Anda" dan refleks kata "maaf" Â dari arah pemberi perintah keluar ketika Saya mengangkat tangan Saya tinggi-tinggi. Â Hadeuh, Â segitunya.Â
Nikmati dan syukuri
Meskipun sering dikira bapak-bapak, bagian terbaiknya adalah Saya akan mudah diingat oleh orang. Juga bisa Saya jadikan lelucon saat berkenalan dengan orang baru, hingga suasananya tidak kaku.Â
Tidak terlintas untuk  merasa berkecil hati, karena nama yang unik ini membedakan Saya dari pribadi lainnya. Saya percaya, bahwa nama yang dititipkan oleh almarhum kedua orangtua Saya tentu telah dipilih dengan cermat oleh mereka.Â