Mohon tunggu...
Ragu Theodolfi
Ragu Theodolfi Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat seni, pencinta keindahan

Happiness never decreases by being shared

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengulik Filosofi Rumah di Kampung Adat Bodomaroto Sumba Barat

7 Maret 2023   14:23 Diperbarui: 8 Maret 2023   16:17 1563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Altar persembahan pada Marapu (dokumentasi pribadi)

Rumah. Sejauh manapun aku melangkah dan berlari, kepadanya juga aku kembali. Karena disanalah hati begitu nyaman berdiam. Ada rindu yang terus bernyawa. Membawa inginku selalu kembali kepadanya - Moammar Emka

Pulau Sumba menyimpan sejuta cerita. Tentang alamnya yang indah, tentang legenda yang melekat di dalamnya. Tentang aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat, juga tentang adat istiadat yang mengikat mereka yang lahir di Tanah Humba ini.

Keinginan saya untuk menuliskan tentang bagian yang penting dalam sebuah tatanan masyarakat di sini akhirnya kesampaian juga. 

Pilihan pertama, jatuh pada bentuk rumah yang dimiliki oleh penduduk yang mendiami Kampung Adat Bodomaroto, Sumba Barat.

Tidak banyak yang tahu tentang salah satu kampung adat di Sumba Barat ini, padahal perannya sangat penting dalam pelaksanaan ritual Bulan Pamali atau masyarakat setempat menyebutnya Wulla Poddu. Ritual ini sebagai bentuk ucapan syukur masyarakat menyambut masa bercocok tanam, umumnya dilaksanakan pada bulan Oktober. 

Lima Kabisu dalam satu kampung

Kampung adat Bodomaroto, terletak di Desa Kalimbu Kuni, hanya butuh waktu sepuluh menit berkendara dari tengah kota Waikabubak, Sumba Barat. Terletak pada daerah ketinggian, suhu di tempat ini relatif lebih dingin dari tempat lainnya. 

Salah satu batu megalitikum di Bodomaroto (dokumentasi pribadi)
Salah satu batu megalitikum di Bodomaroto (dokumentasi pribadi)

Jalan masuk ke desa ini telah diaspal. Karena tanjakan menuju kampung adat ini cukup curam, disarankan untuk memarkir kendaraan di bawah bukit. Tampak samping rumah milik Bapak Melki Tagubore, tokoh masyarakat sekaligus narasumber kali ini, menyambut kedatangan kami. 

Terdapat 17 rumah di kampung adat ini. Bentuknya sama, demikian juga dengan atap yang menjulang di atasnya. Atap rumbai yang indah memberi warna tersendiri. 

Ada lima suku atau kabisu yang mendiami Kampung Adat Bodomaroto. Suku Anawara, Tanabi, Weebole, Wanokalada dan Weeneibi. Setiap kabisu memiliki hubungan kekerabatan, yang berasal dari satu nenek moyang atau leluhur yang sama.

Ketua suku atau ketua kabisu disebut Rato; masing-masing Rato memiliki tanggungjawab yang besar untuk memimpin kabisu masing-masing. Rato memiliki peran dalam setiap acara adat. 

Sebagai contoh, Kabisu Wanokalada memiliki ritual adat Tauna Golu, masyarakat setempat menyebutnya pendinginan kuku kerbau. Ritual ini dipimpin oleh Rato, dilaksanakan sebelum renca sawah, membajak sawah atau karekata.

Kampung adat yang unik

Rumah yang ada di kampung adat ini memiliki bentuk yang seragam. Dari bentuk rumah, atap maupun jumlah tiang yang ada pada setiap rumah. Rumah adat di kampung ini terbagi atas tiga tingkatan, tingkat pertama, kedua dan tingkat ketiga. Rumah dianalogikan sebagai anatomi tubuh manusia. Bagian kaki, perut dan kepala.

Bagian atap rumah memiliki ukuran tinggi tertentu. Tinggi atap kurang lebih empat depa, ditambah ukuran sepanjang pergelangan tangan orang dewasa. Penambahan ukuran ini dimaksudkan agar semua anggota yang ada dalam rumah mendapatkan keberlimpahan, termasuk kesehatan. 

Ada hal yang harus dipatuhi anggota sebuah kabisu dalam pembuatan atap rumah adat ini. Tinggi atap rumah induk yang ditempati Rato, harus lebih tinggi dari rumah anggota kabisu yang ada.

Altar persembahan pada Marapu (dokumentasi pribadi)
Altar persembahan pada Marapu (dokumentasi pribadi)

Untuk masuk ke dalam rumah ini, melalui dua pintu utama yang terletak pada bagian kanan dan bagian kiri. Pintu bagian kanan (binna balikatuonga) adalah pintu yang hanya dapat dilewati oleh kaum lelaki dan anak perempuannya. Istri dan menantu perempuan hanya memiliki akses melalui pintu sebelah kiri (binna kerepadalu).

Kaum lelaki, terutama ayah, adalah orang yang sangat dihormati di dalam rumah tersebut. Ayah, anak lelaki dan anak perempuannya, memiliki akses yang luas di dalam rumah. Mereka bisa masuk ke dalam rumah melalui pintu mana saja.

Istri dan menantu perempuan memiliki akses yang terbatas. Selain hanya boleh masuk melalui pintu sebelah kiri, mereka juga hanya dapat beraktivitas dekat tungku perapian. Bila ingin menyajikan makanan, diletakkan pada sebuah meja dekat tungku yang disebut ponukoro tilu. 

Rumah adat dengan tiga tingkatan 

Rumah adat sumba memiliki tiga tingkatan. Tingkatan pertama atau disebut lantai satu, diperuntukkan bagi hewan piaraan seperti kuda, kerbau, kambing, babi dan lain sebagainya.

Tingkatan kedua, lebih kompleks lagi. Lantai dua digunakan untuk aktivitas manusia seperti masak, tidur dan lainnya. Lantai dua, dianalogikan sebagai organ reproduksi atau organ tubuh penting lainnya. 

Leki, tempat penyimpanan bahan makanan dan alat makan (dokumentasi pribadi)
Leki, tempat penyimpanan bahan makanan dan alat makan (dokumentasi pribadi)

Tungku api (tulura), leki, katotu dan padalu adalah bagian penting di lantai dua ini. Leki, mirip para-para yang diletakkan di atas tungku perapian. Memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan makanan yang memiliki masa simpan yang pendek seperti daging, leki juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk meletakkan peralatan makan yang terbuat dari kayu. Tujuannya agar peralatan makan tetap awet dan tidak mudah rusak.

Katotu adalah tempat penyimpanan beras yang sudah dibersihkan dan siap untuk diolah lebih lanjut. Katotu digantung di dinding. Katotu tidak boleh kosong, demikian halnya dengan tempayan air yang terbuat dari tanah liat (padalu). Masyarakat adat setempat mempercayai bahwa Marapu akan datang untuk makan di rumah tersebut, setelah semua penghuni rumah tersebut makan. 

Tingkat ke tiga atau lantai ke tiga adalah bagian yang paling tinggi dari sebuah rumah adat di Bodomaroto. Bagian ini menjadi tempat penyimpanan bahan pangan yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama, misalnya padi dan jagung. 

Benda-benda pusaka seperti mamuli, nobu (tombak) dan teko (parang) juga diletakkan pada area tersendiri di bagian ke tiga rumah ini. Barang-barang pusaka ini tidak boleh disentuh sembarangan; yang berhak mengambilnya adalah rato dalam rumah atau kepala keluarga, atau anak laki-lakinya.

Bagian ke tiga ini menjadi bagian yang paling penting dari sebuah rumah adat di Kampung Bodomaroto. Selain untuk menyimpan bahan makanan, tempat ini juga merupakan bagian yang paling tinggi untuk Marapu. Seperti pada lantai dua, bahan makanan pada lantai ini tidak boleh kosong sama sekali. 

Bentuk bangunan yang kaya akan filosofi 

Menjaga keseimbangan antara alam, leluhur dan manusia menjadi dasar ketika masyarakat adat di Kampung Bodomaroto hendak membangun rumah. Cara mengikat, bahan yang dipakai, tata letak serta sambungan kayu yang ada, semuanya melalui perhitungan yang cermat dan memenuhi filosofi tertentu.

Lele labe pada tiang utama di tengah rumah (dokumentasi pribadi)
Lele labe pada tiang utama di tengah rumah (dokumentasi pribadi)

Atap rumah di Kampung Adat Bodomaroto, terbuat dari alang-alang untuk menjaga kesejukan di dalam rumah. Alang-alang bertahan hingga sepuluh bahkan belasan tahun lamanya dan dapat diganti setelah itu. Bentuk rumah menyerupai menara adalah bentuk penghormatan mereka terhadap Marapu yang dipercaya bertahta pada menara rumah.

Bahan pengikat yang digunakan semuanya berasal dari alam, tali temali atau rotan yang dianyam sedemikian rupa untuk mengikat semua bahan penyusunnya. 

Deretan alang-alang diikat pada struktur kayu yang ada; arah ikat harus ke arah kanan, tidak boleh berubah ke arah kiri. Masyarakat setempat meyakini bahwa anggota rumah atau tukang yang membangun rumah tersebut akan mengalami resiko sakit atau kehilangan nyawa saat aturan ini tidak dipenuhi.

Pada bagian tengah lantai dua, terdapat empat tiang besar. Pari’i urata, terletak paling dekat dengan pintu masuk utama, melambangkan seorang ayah. 

Di belakangnya, pari’i kikukatuonga melambangkan  anak laki-laki. Pari’i kerepadalu melambangkan seorang ibu, letak tiangnya tepat di sebelah anak lelaki. Uma penne kerepadalu melambangkan anak perempuan; tiang ini terletak di samping ayah. 

Tiang utama dalam rumah pada bagian atasnya diberi bentuk bulat yang melambangkan asesoris/gelang (lele labe). 

Lele labe dipercaya sebagai tempat untuk menyimpan jiwa anggota keluarga yang telah meninggal, agar roh mereka tetap berada dalam rumah tersebut.

Kerangka pada atap terdiri dari 36 tiang panjang dan 16 tiang pendek, saling mengikat satu sama lain. Seperti tulang rusuk pada struktur tubuh manusia yang melindungi organ penting di dalamnya, demikian juga kerangka ini akan melindungi semua anggota keluarga yang mendiami rumah tersebut.

Struktur ikatan kayu penopang atap (dokumentasi pribadi)
Struktur ikatan kayu penopang atap (dokumentasi pribadi)

Tiang patienga ngaingo adalah tiang kayu yang melintang sebagai dudukan kerangka atap. Tiang ini tidak asal diletakkan, namun memperhatikan pertemuan antara pucuk dan akar. Susunan tiang ini melambangkan perlindungan dari pihak  yang kuat terhadap pihak yang lemah.

Sungguh, suatu bentuk yang sempurna, mewakili hubungan harmonis antara manusia, alam dan semesta.

Narasumber : Melkianus Tagubore (kampung adat Bodomaroto, Sumba Barat)

Sumba Barat, 7 Maret 2023

Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun