Rumah adat sumba memiliki tiga tingkatan. Tingkatan pertama atau disebut lantai satu, diperuntukkan bagi hewan piaraan seperti kuda, kerbau, kambing, babi dan lain sebagainya.
Tingkatan kedua, lebih kompleks lagi. Lantai dua digunakan untuk aktivitas manusia seperti masak, tidur dan lainnya. Lantai dua, dianalogikan sebagai organ reproduksi atau organ tubuh penting lainnya.Â
Tungku api (tulura), leki, katotu dan padalu adalah bagian penting di lantai dua ini. Leki, mirip para-para yang diletakkan di atas tungku perapian. Memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan makanan yang memiliki masa simpan yang pendek seperti daging, leki juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk meletakkan peralatan makan yang terbuat dari kayu. Tujuannya agar peralatan makan tetap awet dan tidak mudah rusak.
Katotu adalah tempat penyimpanan beras yang sudah dibersihkan dan siap untuk diolah lebih lanjut. Katotu digantung di dinding. Katotu tidak boleh kosong, demikian halnya dengan tempayan air yang terbuat dari tanah liat (padalu). Masyarakat adat setempat mempercayai bahwa Marapu akan datang untuk makan di rumah tersebut, setelah semua penghuni rumah tersebut makan.Â
Tingkat ke tiga atau lantai ke tiga adalah bagian yang paling tinggi dari sebuah rumah adat di Bodomaroto. Bagian ini menjadi tempat penyimpanan bahan pangan yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama, misalnya padi dan jagung.Â
Benda-benda pusaka seperti mamuli, nobu (tombak) dan teko (parang) juga diletakkan pada area tersendiri di bagian ke tiga rumah ini. Barang-barang pusaka ini tidak boleh disentuh sembarangan; yang berhak mengambilnya adalah rato dalam rumah atau kepala keluarga, atau anak laki-lakinya.
Bagian ke tiga ini menjadi bagian yang paling penting dari sebuah rumah adat di Kampung Bodomaroto. Selain untuk menyimpan bahan makanan, tempat ini juga merupakan bagian yang paling tinggi untuk Marapu. Seperti pada lantai dua, bahan makanan pada lantai ini tidak boleh kosong sama sekali.Â
Bentuk bangunan yang kaya akan filosofiÂ
Menjaga keseimbangan antara alam, leluhur dan manusia menjadi dasar ketika masyarakat adat di Kampung Bodomaroto hendak membangun rumah. Cara mengikat, bahan yang dipakai, tata letak serta sambungan kayu yang ada, semuanya melalui perhitungan yang cermat dan memenuhi filosofi tertentu.