"Setiap hari adalah masa lalu, yang tercipta untuk masa depan" (Armi Radja Djawa)
Perjalananku menyusuri kota untuk mendapatkan bahan tulisan di siang yang panas, berakhir di sebuah bangunan tua. Bangunan tua dengan arsitektur Belanda, persis bersebelahan dengan Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) Kota Kupang.
Sejarah mencatat, bahwa Belanda pernah menjejakkan kakinya di atas Pulau Timor untuk memperkuat kedudukannya di Indonesia. Gereja GMIT dan juga rumah residen Hindia Belanda, menjadi bagian dari bukti sejarah kehadiran Belanda dengan politik ekonominya untuk menguasai rempah-rempah di Indonesia bagian timur.Â
Bangunan tua dengan lima ruangan yang lebar itu, terlihat kokoh dan sangat terawat. Gereja diberi peran untuk turut merawat bangunan tersebut. Langit-langitnya tinggi, dan sirkulasi udara di dalamnya lancar dengan bukaan jendela yang luas.Â
Rupanya itu hari keberuntunganku. Sekelompok anak muda pencinta sejarah sedang mengadakan pameran yang diberi edisi Merekam Kota.Â
"Generasi yang mengabaikan sejarah tidak memiliki masa lalu dan tidak memiliki masa depan." - Robert A. Heinlein
Mereka adalah anak-anak muda dengan berbagai kompetensi dan latar belakang, bekerja keras untuk menghadirkan cuplikan sejarah yang direkam dalam foto dan cerita.
Kelompok anak muda yang kreatif ini mengumpulkan berbagai kisah dari tahun 1950an. Cerita masa lalu ini mereka dapatkan dari album kenangan beberapa keluarga yang masih tersimpan dengan rapi, dari saksi hidup yang diwawancara dan juga dari sumber literasi lainnya yang dapat dipercaya.
Kisah indah yang nyaris terlupakan ini kemudian dirangkum dalam catatan, rangkaian foto yang dicetak kembali dan dipamerkan ke publik.Â
Ada kisah romansa yang tertuang dalam kolase foto dan kesan pesan yang terekam. Ada cerita tentang orang Tionghoa di Kota Kupang, yang terdampak peraturan pemerintah pada masa itu dan terpaksa dipulangkan ke Tiongkok. Ada pula kisah perjalanan dunia olahraga di Kota Kupang.
Cempaka, Sedap Malam, dan Setanggi Timor
Satu hal yang paling menarik perhatianku. Tentang musik yang hidup pada masa itu. Faktanya, musik orkes Melayu pernah sangat berkembang di Pulau Timor pada era 50an. Di atas tanah yang didominasi umat non muslim.
Namun, tidaklah mengherankan. Bila ditilik kembali ke belakang, kehadiran agama Islam di Kota Kupang sudah terjadi sejak tahun 1653, ketika terjadi peperangan antara Belanda dengan Portugis pada abad yang lalu.
Belanda mendatangkan orang Solor, Flores Timur, yang umumnya beragama Islam untuk membantu mereka dalam perang tersebut.Â
Sebagai hadiah atas keberhasilan dalam perang melawan Portugis, Belanda kemudian memberikan wilayah bernama Merdeka, tepatnya di Kupang, Pulau Timor, kepada Atu Laganama sebagai tokoh berpengaruh dan pasukannya.Â
Namun, karena sebagian dari mereka adalah nelayan, Laganama dan pasukannya memilih wilayah dekat pantai yang kemudian dinamakan Kampung Solor.
Pengaruh Islam di dalamnya terlihat sangat kuat pada aliran musik yang berkembang saat itu. Irama Melayu pun jadi favorit di tengah beragam pilihan musik lainnya seperti keroncong dan folk yang juga merebak pada masa itu.
Tiga grup Orkes Melayu di Kupang yang malang melintang saat itu adalah grup musik orkes Cempaka dari daerah Airmata, Sedap Malam di Bonipoi yang lebih condong pada musik keroncong, dan yang paling terkenal, Setanggi Timor dari Kampung Solor.
Setanggi Timor, memiliki makna wewangian yang harum dari Pulau Timor. Grup musik ini memiliki anggota yang sangat banyak. Tidak hanya penyanyi dan pemain musik, namun juga penari dan pemain drama.Â
Persaingan ketat grup musik
Perjalanan ketiga grup musik ini diwarnai persaingan yang ketat. Di tengah maraknya musik keroncong dan folk di Kupang pada masa itu, grup musik ini berusaha memberikan penampilan terbaik mereka. Berusaha menarik penonton yang berjubel.
Tak urung, cara-cara yang dipakainya pun beragam. Memata-matai grup musik lainnya sudah lazim dilakukan. Bila mata-mata kedapatan menjelek-jelekkan grup yang sedang tampil saat itu, akan dihajar saat itu dan diusir dari sana.Â
Pertunjukan pun akan dihentikan untuk menghindari pergolakan massa yang lebih besar.
Membawakan lagu-lagu yang sedang populer di zamannya seperti Yale-yale, Kudaku Lari Kencang, Hatiku Merasa Senang dan lainnya, grup musik ini sering tampil di acara religi, ulangtahun, sunatan, pernikahan atau acara lainnya.
Alunan musik yang mengalir indah dari petikan gitar, strum bass, biola, gambus, dan rebana, mengiringi tarian Serampang Duabelas dan Tari Piring yang dihadirkan oleh para penari-penari gemulai nan lincah di setiap pertunjukkan mereka.Â
Musik tetaplah musik, yang tidak terpenjara oleh apapun. Dia akan hidup ke mana pun hati membawanya (Theodolfi)
Kupang, 3 Desember 2022
Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H