Kisah indah yang nyaris terlupakan ini kemudian dirangkum dalam catatan, rangkaian foto yang dicetak kembali dan dipamerkan ke publik.Â
Ada kisah romansa yang tertuang dalam kolase foto dan kesan pesan yang terekam. Ada cerita tentang orang Tionghoa di Kota Kupang, yang terdampak peraturan pemerintah pada masa itu dan terpaksa dipulangkan ke Tiongkok. Ada pula kisah perjalanan dunia olahraga di Kota Kupang.
Cempaka, Sedap Malam, dan Setanggi Timor
Satu hal yang paling menarik perhatianku. Tentang musik yang hidup pada masa itu. Faktanya, musik orkes Melayu pernah sangat berkembang di Pulau Timor pada era 50an. Di atas tanah yang didominasi umat non muslim.
Namun, tidaklah mengherankan. Bila ditilik kembali ke belakang, kehadiran agama Islam di Kota Kupang sudah terjadi sejak tahun 1653, ketika terjadi peperangan antara Belanda dengan Portugis pada abad yang lalu.
Belanda mendatangkan orang Solor, Flores Timur, yang umumnya beragama Islam untuk membantu mereka dalam perang tersebut.Â
Sebagai hadiah atas keberhasilan dalam perang melawan Portugis, Belanda kemudian memberikan wilayah bernama Merdeka, tepatnya di Kupang, Pulau Timor, kepada Atu Laganama sebagai tokoh berpengaruh dan pasukannya.Â
Namun, karena sebagian dari mereka adalah nelayan, Laganama dan pasukannya memilih wilayah dekat pantai yang kemudian dinamakan Kampung Solor.
Pengaruh Islam di dalamnya terlihat sangat kuat pada aliran musik yang berkembang saat itu. Irama Melayu pun jadi favorit di tengah beragam pilihan musik lainnya seperti keroncong dan folk yang juga merebak pada masa itu.