Banyak alasan mengapa seseorang menjadi seorang janda, ibu tunggal atau single mom. Ditinggal oleh pasangannya -karena kematian atau karena perceraian- atau memang  memilih untuk membesarkan anak-anak tanpa kehadiran suami (single mom by choice). Untuk yang terakhir ini, biasanya anak yang dibesarkan adalah anak yang diadopsi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga tahun 2015,  jumlah perempuan di Indonesia yang menjadi orangtua tunggal lebih  tinggi dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang menjadi orangtua tunggal. Secara statistik disebutkan bahwa 12.04%  perempuan menjadi ibu tunggal atau janda sedangkan jumlah laki-laki yang menjadi ayah tunggal atau duda adalah 3.60 %.
Mengapa memilih bertahan dengan status single mom?
Bisa jadi, proporsi jumlah perempuan yang menyandang status janda lebih tinggi dibandingkan dengan status duda karena banyak alasan. Beberapa kelompok memilih untuk tetap tidak menikah lagi karena faktor usia. Budaya ketimuran seolah membatasi gerak ruang mereka.Â
Dalam tananan norma dan etika masyarakat kita, perempuan yang sudah tua hanya layak untuk laki-laki yang usianya juga telah matang. Kalau berhubungan dengan pria yang lebih muda usianya dianggap hal yang sangat tidak pantas, memalukan, dan menjadi pergunjingan di sana-sini.
Berbeda dengan kelompok duda yang dianggap sah-sah saja ketika menikahi perempuan dengan beda usia yang begitu besar. Atau ketika mereka memilih untuk tetap menduda, tidak ada komentar  miring tentang itu.Â
Kelompok lain yang tetap bertahan memilih hidup sendiri hingga akhir hidupnya karena alasan tidak ingin menyakiti perasaan anak-anaknya. Sudah cukup mereka menderita karena kehilangan sosok ayah dalam hidup mereka, kalau harus ditambah dengan menghadirkan orang lain dalam hidup tentu akan lebih melukai perasaan mereka.Â
Bagi perempuan yang pernah mengalami perlakuan yang tidak adil, tidak menyenangkan, atau kekerasan dalam rumah tangga, trauma yang diakibatkan hal tersebut menjadi alasan mengapa mereka memilih untuk hidup menjanda.
Tantangan terbesar berasal dari lingkungan terdekat
Tidak ada seorang perempuan pun dalam hidupnya ingin menyandang status single mom. Kalau boleh memilih, mereka akan memilih menjadi pasangan seseorang. Â Tidak yang ingin ditinggal mati oleh pasangannya, tidak ada pula yang ingin dicerai hidup.Â
Lalu, apa yang salah dengan status baru tersebut? Memilih, atau terpaksa menjadi seorang single mom bagi beberapa kelompok perempuan bukanlah perkara mudah. Sangatlah tidak adil bagi perempuan yang menyandang status single mom, kemudian mendapatkan perlakuan yang mendadak 'istimewa'.
Entah kenapa, ketika sesuatu hal dikaitkan dengan single mom, reaksi yang ditimbulkan akan berkali-kali lipat bila  dibandingkan dengan single dad.  Seolah memiliki magnet tersendiri, menarik untuk dipergunjingkan. Semua gerak-gerik seakan diawasi kamera CCTV  24 jam. Semua mata tertuju padanya, bersiap-siap untuk 'diterkam' kapan saja.
Banyak yang lupa, bahwa ketika status seorang perempuan berubah, kondisi psikisnya juga turut berubah.
Bukan saja soal perubahan tanggung jawab. Pergeseran kondisi ekonomi, beban kerja yang bertambah, namun menyandang status sebagai single mom itu sendiri pun bagi sebagian kelompok menjadi momok yang menakutkan. Â Lho kok bisa?
Perempuan yang menyandang status single mom kerap menjadi pusat perhatian, tidak cuma dari kaum adam, tapi juga dari kaum hawa itu sendiri.  'Label' yang melekat padanya membuat dirinya kadang dipandang sebelah mata, dianggap rendah bahkan menjadi sasaran empuk dari segelintir orang  yang tidak bertanggungjawab.
Ketika terjadi kisruh dalam rumah tangga, acapkali tudingan tidak masuk akal mengarah pada single mom hanya karena secara tidak sengaja ketika sang suami berbelanja ke warung, berpapasan dengan single mom.Â
Status yang disandangnya menjadikan single mom dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab untuk kisruh yang terjadi. Alamaaaak!
Belajar melihat dari posisi orang lain
"Hati-hati lho, Jeng. Kemarin aku lihat Mas Aris kamu melirik janda di ujung gang itu"
"Ssstt...semalam dia pulang jam sebelas, lho. Ada yang nganterin pula"
"Tampilannya sekarang kok  beda ya, padahal dulu waktu suaminya ada, bulukan....., nggak glowing kayak gini"
"Bapak mau ketemuan? Saya punya nomor kontaknya, tinggal Bapak hubungi. Bisalah itu diatur"Â
Komentar miring di atas seolah menjadi bagian perjalanan hidup seorang single mom. Â Seolah tidak ada ruang lagi bagi mereka untuk berkembang, digempur dari berbagai arah.Â
Sejatinya perempuan harus dilindungi. Faktanya, posisi perempuan yang lemah, kadang menjadikannya korban pelecehan sexual, secara verbal atau fisik.Â
Adanya anggapan bahwa seorang single mom adalah sosok yang membutuhkan cinta  atau haus kasih sayang, menjadikan dirinya korban 'bulan-bulanan' dari sekelompok orang. Â
Ini sangat menyakitkan dan merendahkan harkat dan martabat perempuan. Belum lagi stereotype yang diberikan oleh lingkungan sekitar. Sangat tidak adil dan mendiskreditkan single mom.Â
Semua persoalan ini bila ditanggapi satu per satu tidak pernah ada habisnya. Menyebabkan sakit hati, bahkan dapat berefek pada kesehatan mental seorang single mom. Padahal mereka harus bekerja, berjuang menggantikan posisi seorang laki-laki.Â
Ada banyak perut yang menunggu untuk diberi makan. Â Ada banyak urusan yang harus diselesaikan dan diputuskan sendiri. Terlebih lagi perjuangan dirinya melawan beban psikis yang ada. Â Seorang single mom juga memiliki hak untuk mengekspresikan dirinya sendiri.
Adalah sangat naif, ketika karena perilaku seseorang  -yang kebetulan berstatus single mom- kemudian membuat kesimpulan yang sama pada semua single mom lain di dunia ini. Banyak perempuan hebat di luar sana yang berstatus single mom.Â
Belajarlah melihat dari sudut pandang yang berbeda. Menempatkan diri pada posisi mereka, merasakan ketika suatu saat nanti, kita sendiri bisa berada pada posisi yang sama.Â
Belajarlah melihat bahwa single mom hanyalah status. Sama seperti status yang tertulis pada kartu identitas, menikah atau belum menikah; yang membuatnya berbeda adalah mindset setiap orang.Â
Jangan lupa, bahwa banyak orang hebat, perempuan maupun laki-laki, terlahir dari rahim seorang perempuan!
Adalah pilihan yang bijak ketika kita belajar menghargai perempuan sebagaimana adanya mereka, tanpa memandang status yang melekat padanya.
Kupang, 9 April 2022
RT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H