Sekilas, ini seperti sebuah lagu. Lagu yang hingga sekarang terus terngiang dan bahkan syairnya pun tidak lekang dari ingatan. Apalagi yang diceritakan dalam lagu tersebut adalah tentang kasih seorang ibu. Tapi bukan tentang lagu tersebut yang ingin ditulis di sini, namun sosok yang berhubungan dengan lagu itu, siapalagi kalau bukan ibu.Â
Kata orang, ibu adalah tempat kita belajar pertama kali; dari seorang perempuan yang kita panggil ibu, ende, indo, ine, bunda, mama atau apapun kita menyebutnya, kita belajar banyak hal. Kalau diibaratkan mesin pencari google, kurang lebih seperti itulah ibu, tahu banyak hal dan melakukan banyak hal dalam waktu bersamaan.Â
Ibu, perempuan yang memiliki hati yang lembut
Mungkin, dia tidak pernah mengikuti sekolah kuliner, dia bukan juga seorang chief restoran yang terkenal, namun masakannya, meski hanya dibumbui garam dan bawang merah atau bawang putih, tetap menjadi makanan favorit yang selalu memanggil pulang anak-anaknya.Â
Mungkin, dia juga tidak pernah sekolah mode, namun pakaian yang dikenakannya selalu fit pada tubuhnya, dan membuatnya terlihat cantik. Mungkin, dia tidak pernah mengambil kelas yoga, zumba, aerobic, tapi setiap lekukan lemak di tubuhnya atau keriput pada pipinya tetap saja membuatnya terlihat cantik dan selalu membuat anak-anaknya tidak beranjak jauh dari dirinya, menikmati setiap jengkal aroma peluhnya.Â
Mungkin pendidikannya tidaklah setinggi perempuan jaman sekarang, ibu Saya misalnya, hanyalah seorang perempuan yang sempat sekolah di sekolah keputrian, setingkat SMP pada jaman itu, namun kepandaiannya dalam mengatur keuangan patut diacungi jempol, mengingat kami adalah keluarga besar ditambah anggota keluarga lainnya.Â
Dari mulut seorang perempuan yang dipanggil ibu, mengajarkan banyak hal pada kita, terutama bagaimana bertutur sapa dengan siapa pun yang kita temui hari itu, bagaimana bersikap, termasuk cara duduk saat berbicara dengan orang lain, terutama yang usianya di atas kita. Dari tangannya yang jauh dari kata halus, dia mengajarkan bagaimana harus bertahan saat suasana tidak bersahabat, termasuk mungkin saat kondisi keuangan sedang tidak stabil.Â
Mungkin, dia tidak pernah membaca soal anger management, self healing, atau apapun itu namanya, namun dia akan selalu menemukan cara untuk keluar dari setiap kemarahan atau kekesalannya. Setiap tutur kata dan tindakannya mencerminkan betapa  ibu adalah sosok yang dipenuhi kesabaran ekstra, tahu kapan harus marah dan kapan harus berhenti ketika menghadapi anak-anaknya dan bagaimana harus bertahan menghadapi pahit dan kerasnyanya hidup.
Memberi contoh, tidak hanya dengan berbicara
Dulu, saat Saya kecil, ada perasaan heran dalam benak Saya, mengapa rumah kami selalu ramai dengan orang-orang. Masih teringat jelas, seminggu sekali, seorang perempuan tua yang usianya sekitar 80an tahun selalu menjadikan dapur sederhana ibu sebagai lapak untuk sayur mayur yang dibawanya dari kampung. Kadang yang dibawanya hanya beberapa ikat daun singkong, menempuh perjalanan sejauh 5 km.Â
Seperti biasanya, tanpa banyak bicara, anyaman pandan yang disebut 'roto' dalam bahasa Manggarai, Flores (biasanya dilengkapi tali untuk ditaruh di kepala) sudah penuh  diisi dengan sembako seperti beras, gula, minyak goreng, bahkan baju bekas yang tidak dipakai lagi. Di akhir cerita mereka hari itu, beberapa kali Saya memergoki ibu yang menyelipkan  uang yang mungkin tidak seberapa ke dalam genggaman perempuan penjual sayur itu.
Herannya lagi, setiap hari, akan ada kunjungan khusus dari dua orang tamu istimewanya, yang satu adalah anak tetangga dan yang satunya lagi adalah penjual sirih pinang yang selalu melintas di depan rumah. Istimewanya, karena keduanya mengalami kondisi, maaf, kekurangan fisik yang hampir sama. Entah apa yang mereka bicarakan, namun ibu terlihat menikmati pembicaraan mereka, walau kedua tamu istimewanya berbicara tidak begitu jelas.Â
Kedua tamu istimewa itulah yang menemaninya sepanjang pagi hingga siang, menikmati kopi mereka ditemani singkong rebus. Mungkin itulah yang membuat dirinya bahagia, sebagai bentuk self-love nya, self healing, tertawa dalam kesederhanaan dan cinta yang mereka miliki. Â Â
Setelah Saya beranjak dewasa, barulah Saya mengerti apa yang dilakukan ibu Saya adalah pelajaran berharga tentang berbagi, tentang ketulusan, tentang cinta yang tak terbatas, cinta yang tidak pernah menuntut kembali  apa yang telah kita beri, cinta yang tidak dapat diukur dengan uang.Â
Itulah esensi kebahagiaan yang sejati.
Kupang, Â 29 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H