Mohon tunggu...
Themmy Doaly
Themmy Doaly Mohon Tunggu... -

Seorang yang biasa-biasa saja. Dan, dalam beberapa hal, sering merasa spesial ketika keluar dari kebiasaan umum. Karena, kupikir, hidup terlalu membosankan dengan penjara di sana-sini. Kenapa kita tak boleh bebas melakukan segala hal yang disenangi? Ya, dalam permainan kartu, Joker menjadi spesial karena dia bukan bagian dari hati, wajik, kriting dan skope. Joker melampaui itu semua. Joker adalah Joker.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Limbo

4 Mei 2013   01:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:08 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kemudian ia pergi menuju suatu ruangan. Belum lenyap dari kepalaku keterkejutan ini. Segala yang kulihat adalah kemewahan. “Terimakasih, Peri! Teh hangat sudah cukup untukku.”

Tak sampai lima menit, Peri sudah kembali, tapi ia tak membawa pesananku. Di tangannya, terkepit cangkir tembus pandang berisi anggur. “Kau terlalu takjub pada tempat ini, ya, Them? Mungkin, itu karena ekspektasi berlebih pada sesuatu di luar dunia nyata.”

“Ah, aku tak tau maksudmu. Apa kau tinggal di tempat sebesar ini sendirian?” aku merampas dengan lembut cangkir yang sudah disodorkannya. Peri mengernyitkan dahinya. Pertanyaanku barangkali menimbulkan kesan-kesan tertentu di benaknya. Sesuatu yang menggelitik. “Apa pentingnya untukmu? Habiskan saja minuman, karena aku ingin mengantarkanmu ke tempat lain.”

“Baiklah,” buru-buru aku habiskan anggur yang diberikannya tadi, karena aku tak memiliki kemampuan menahan sabar. Rasanya manis dan menghangatkan. Tapi, aku mulai bertanya-tanya, “apa maksud dari semua ini?”

Setelah habis meminum anggur, ia membawaku ke ruangan lain. Aku masih saja berlagak norak, sepertinya aku terjangkit gegar budaya. Yang pasti di rumah ini hanya ada kami berdua, sebab – ketika tak ada percakapan – suara angin terdengar lebih ribut dari apapun. Sehabis membuka pintu salah satu ruangan, aku menyaksikan rerumputan dan pepohonan hijau. Beberapa kursi bercat putih berjajar di tepi taman. Burung merpati sesekali mendarat, barangkali mencari makan karena lapar. Aku masih saja penasaran pada maksud baik Peri cantik, yang jauh dari kesan pamer, atau hanya ingin membuktikan eksistensi dunia lain. “Peri, kalau aku boleh tahu, apa maksud dari semua ini?”

Di tengah taman, ia menari-nari sambil tersenyum. Segala geraknya terlihat natural, tak dibuat-buat. “Kau tahu, Them, surga tak harus seperti bayanganmu sekarang ini. Surga adalah apa yang disepakati bersama.” Astaga, ia puitis sekali. Seandainya mengikuti kontes ratu sejagad, sudah pasti Peri menjadi pemenangnya. Di dalam dirinya terdapat syarat utama menjadi Miss Universe: Brain, Beauty dan Behavior. Setidaknya aku bisa menarik konklusi dari sini bahwa kecantikan tidak harus mahal. Cantik adalah kesan subjektif yang harusnya lepas dari konstruksi iklan kosmetik atau etalase pakaian di boutique bergaya Perancis.

Bagaimana cara menarik perhatiannya lebih lagi? Aku rasa, tak ada gunanya membuat diri menjadi sempurna, dengan membohongi kenyataan. Lebih baik, aku berbicara ala kadarnya saja. “Surga dunia juga termasuk kesepakatan bersama. Itu jadi salah satu faktor yang membuatnya lebih indah, bukan?”

“Pikiranmu penuh dengan sampah,” Peri tak lelah menari beberapa menit ini, sepertinya ia sedang berusaha menghindari jamahan angin. Mungkinkah laku tersebut jadi cara paling ampuh untuk tak mempedulikanku?

“Maaf, tak bermaksud begitu. Tapi, setidaknya kau bisa memberi penjelasan mengenai tempat ini dan tujuanmu membawaku ke sini,” aku membelakanginya, lalu berjalan menuju kursi putih di pinggir taman.

“Ternyata kamu masih perlu penjelasan, semoga berguna dan kamu tak perlu repot-repot membeli buku tafsir mimpi. Pertemuan ini tidak ada hubungannya dengan apa yang akan terjadi di hari esok, Them,” Peri berhenti menari. Ia berjalan ke arahku dengan sinar membututinya dari belakang. Angin menyapu rambut pirang, serta menyentuh kulit mulusnya. “Kita hanya merangkai imajinasi secara bebas, tanpa penjara moralitas. Di sini, kita bisa menjadi manusia jujur.” Ia duduk di sampingku, kemudian merangkulkan tangan kananya ke pundak kananku. Setelah itu, aku merasakan bibirnya menyusuri pipiku beberapa kali. “Pikirkan lagi, Them. Kini, kita bertemu di alam imajinasi,” dengan lembut dibisikkannya kata-kata itu di telingaku, “Apakah gempuran bibirku yang menyentuh kulitmu perlu penjelasan lebih?”

“Aku tak yakin, tapi mungkin saja,” sepertinya percakapan filosofis ini tak pernah terjadi pada kencan-kencan konvensional. Kenapa dia tak menanyakan aktifitasku seminggu belakangan, atau mengungkapkan kecemburuan pada gadis-gadis yang mendekatiku di dunia nyata? Sial betul, bahkan dalam alam pelarian ini, aku harus memutar otak! “Bisakah kita membicarakan hal-hal remeh? Rasanya aku sedang mengikuti kuliah filsafat, bukannya kencan di alam bawah sadar.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun