Mohon tunggu...
Themmy Doaly
Themmy Doaly Mohon Tunggu... -

Seorang yang biasa-biasa saja. Dan, dalam beberapa hal, sering merasa spesial ketika keluar dari kebiasaan umum. Karena, kupikir, hidup terlalu membosankan dengan penjara di sana-sini. Kenapa kita tak boleh bebas melakukan segala hal yang disenangi? Ya, dalam permainan kartu, Joker menjadi spesial karena dia bukan bagian dari hati, wajik, kriting dan skope. Joker melampaui itu semua. Joker adalah Joker.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Limbo

4 Mei 2013   01:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:08 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesekali kurasakan awan menabrak wajahku, kemudian pecah seperti percik-percik air ketika cuci muka. Semoga tak ada kilat hari ini, aku tak ingin menjadi objek berita berjudul “Asik Terbang, Seorang Pemuda tewas Tersambar Petir”.

Ah tidak, itu menjijikkan sekali!

Sebenarnya, aku merasa penasaran untuk mendengar seberapa keras suara guntur langsung dari atas langit. Tapi, kali ini, rasa penasaranku sepertinya tak membutuhkan pembuktian. Biar para ahli menjelaskan lewat teks-teks akademik. Aku bisa membacanya sambil tiduran di kasur.

Kami terbang semakin tinggi, entah sudah di langit ke berapa, yang jelas rasanya semakin dingin dan udara makin sulit ditemukan. Sebelumnya, kami berulang kali harus menghindari bebatuan yang mengapung di langit. Atmosfer pastinya sudah berhasil dijebol, pikirku. Di atas langit, Peri menggenggam semacam benda pijar seukuran kepalan tangan orang dewasa. Seperti penari profesional digerakkannya benda tadi dengan kedua tangannya yang lemah-gemulai itu. “Ini… kuberikan bintang untukmu. Supaya kau tahu bahwa aku punya perasaan juga. Bisa romantis juga. Simpan di kamarmu, agar ketika kau tidur bintang ini selalu menjadi terang yang menjaga.”

Kuterima pemberiannya, sekaligus berterima kasih karena sudah bersedia merepotkan diri memberi kenang-kenangan untukku. Namun, sekalipun Peri punya perasaan, mungkin ia tak punya otak. Aku tak yakin dia salah satu penyair jaman romantisme, yang menganggap kecantikan seperti wajah bulan – yang sesungguhnya bopeng, atau bintang sebesar kepalan tangan. Dasar bodoh. Ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa matahari adalah salah satu bintang yang paling dekat dengan bumi. Bagaimana benda seukuran payudara remaja ini disebut bintang? Lebih baik aku tak usah protes, setidaknya Peri telah berbuat baik padaku. “Terima kasih untuk kenang-kenangannya. Sulit menemukan benda secantik ini di pusat perbelanjaan. Bahkan, pramugari tak pernah seramah ini, mungkin karena aku hanya pernah menggunakan jasa pesawat kelas teri. Itupun dengan harga paling cetek.”

Tak lama setelah itu, kurasakan nafasku terengah-engah. Peri sadar, sedikit lagi aku akan mati kekurangan oksigen, dan aku juga yakin akan hal itu. Namun ia tak rela menyaksikan mayat pengguna jasa penerbangan mengapung di udara, barangkali karena pertunjukkan belum selesai, atau mungkin ia tak ingin memberi laporan pertanggung-jawaban mengenai penerbangan mematikan. Sayangnya, tak ada tabung oksigen atau masker yang biasa menjadi salah satu fasilitas penerbangan. “Tenang, Them, aku tak akan membiarkanmu mati kehabisan udara. Aku tahu apa yang harus kulakukan.” Tiba-tiba, tangan kananya merangkul kepalaku. Di tempelkan bibirnya pada bibirku. Terasa udara masuk dengan begitu lembut menyusuri tenggorokan. Tapi, yang terpenting adalah kulit bibirnya yang memiliki energi elektro magnetik ketika menyentuh bibirku.

Waktu berhenti. Entah berapa detik aksi transfer udara berlangsung. Selama itu pula, kutatap sepasang matanya, sambil berusaha menemukan sesuatu di balik lensa paling sempurna di dunia ini. “Semoga suhu udara turun hingga membekukan kami berdua. Aku rela menjadi patung seumur hidup, asal merasa kehangatan dalam diri yang tiada habisnya,” kata batinku.

Adegan tadi sulit untuk dijelaskan dalam tulisan. Mata yang membaca hanya bisa menafsirkan atau merangkai imajinasi berkaitan dengan itu. Ciuman memang tak bisa dirasa lewat teks. Ia hanya hadir ketika bibir bertemu bibir. Jika ada sesuatu yang memberi nilai tambah, barangkali itu merujuk pada “bagaimana” aksi itu dikonstruksi.

Bibir Peri menyelamatkan nyawa yang sudah di tepi jurang. Mungkinkah bibir punya kekuatan emosional jika eksis sebagai entitas tunggal belaka? Aku pikir tidak. Tanpa bertemu dengan bibir lain, ia hanya jadi pintu masuk makanan atau minuman. Ia juga tak lebih dari pengapit sebatang rokok untuk dihisap lalu dihembuskan.

Intinya, aku tak jadi mati dan kembali merasakan bernafas seperti biasa. Karena tak puas dengan adegan mesra barusan, aku berpura-pura kehabisan nafas lagi, berharap kejadian serupa terulang. “Jangan berlagak bodoh, Them. Aku telah memberikan udara yang tak akan habis kau hirup.”

“Apa kau tak yakin dengan adanya kesalahan teknis? Aku benar-benar kehabisan nafas, Peri!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun