Sudah jamak diketahui anggaran HPN bersumber dari APBD (kota yang menjadi tuan rumah) dan APBN (kementerian dan lembaga). Masih ingat korupsi HPN 2014 di Bengkulu? Ternyata acara HPN dijadikan ajang bancakan dari para penyelenggaranya. Polisi telah menyelediki kasus ini dan menemukan korupsi sebesar Rp4,2 Miliar. Pagu anggaran HPN 2014 sangat fantantis Rp40 miliar dan 10 persennya dikorupsi. Tersangka utamanya adalah Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (Kadishubkominfo) Provinsi Bengkulu Eko Agusrianto.
Untuk HPN 2016 saja Kota Lombok Tengah sudah menganggarkan Rp 1 Miliar. Belum ketahuan berapa anggaran yang dihibahkan pemerintah provinsi NTB dan kementerian dan lembaga untuk HPN 2016. Kabarnya Kementerian Pariwisata berkomitmen menyumbang beberapa miliar ke panitia HPN. Penggunaan dana pemerintah pusat dan daerah untuk perhelatan wartawan yang hanya sebagai ajang hura-hura dan foto-foto dengan pejabat jelas menghambur-hamburkan uang negara. Â
Sebagai perbandingan, saat terjadi korupsi HPN 2014 di Bengkulu APBD Bengkulu sebesar Rp 1,80 triliun, dengan Pendapatan Asli Daerah hanya Rp 532,93 miliar. Anggaran pendidikan Bengkulu 2014 hanya sebesar Rp 123 Miliar. Bandingkan dengan anggaran HPN yang mencapai Rp 40 Miliar. Adilkah ini untuk pelajar di Bengkulu?
Wartawan PWI tak peduli dengan besarnya uang APBD yang dipotong untuk kepentingan pesta PWI. Padahal HPN tidak membawa manfaat sama sekali bagi rakyat Bengkulu. HPN tidak berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan warga Bengkulu, juga tidak membuat warga kurang mampu yang tak bisa berobat ke rumah sakit jadi mendapatkan kemudahan akses kesehatan. Dan di atas segalanya pesta HPN tak membawa manfaat sedikitpun bagi program pengentasan kemiskinan warga kurang mampu di Bengkulu.
Dari sisi insan pers, HPN juga tak berdampak peningkatan kemampuan wartawan. Forum pesta HPN hanya dijadikan ajang lobi-lobi pejabat PWI pusat dengan pejabat daerah, menteri yang datang dan show of force kepada presiden. Justru sebaliknya, sokongan pemerintah dalam bentuk penganggaran dukungan pada HPN hanya menciptakan parsialitas, pers partisan dan merusak independensi pers. Wartawan, media dan pengurus PWI tidak bisa menulis dengan bebas, independen saat memberitakan donatur HPN. Ada perasaan balas budi, ewuh pekewuh dan takut menyakiti nara sumber. Semua sikap inferior itu akan mematikan daya kritis pers. Dari semua sisi tak ada yang perlu dipertahankan perhelatan HPN. Kini, saat yang tepat melakukan redefinisi Hari Pers Nasional. Jokowi pasti bisa melakukannya.
Ketua Panitia HPN 2016 adalah Pembenci Jokowi
Dari sisi politik kehadiran Presiden Jokowi di acara HPN 2016 yang akan digelar di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat adalah keanehan. Bagi yang belum tahu, Ketua Panitia HPN 2016, Teguh Santosa adalah Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Online (RMOL). Media yang dipimpin Teguh selalu terdepan menebar kebencian pada Jokowi. Grup RMOL terdiri atas (RMOL Jakarta, RMOL Bengkulu, RMOL Jabar, RMOL Sumsel, RMOL Kalbar, Medan Bagus) selalu menyerang Jokowi JK dengan berita negatif yang bersumber dari pernyataan para petualang politik, makelar politik dan pembenci Jokowi. Berita yang menyerang Jokowi bisa bersumber dari mana saja, termasuk dari cuitan para pembenci Jokowi (baik akun riil maupun akun anonim). Asalkan memenuhi kriteria mendelegitimasi pemerintahan Jokowi, memperburuk citra Jokowi, menyudutkan, mempermalukan Jokowi, pasti ditayangkan di laman RMOL Tak ada upaya redaksi RMOL melakukan konfirmasi, cover both side, check and balances suara pemerintah.Â
RMOL menampatkan diri sebagai corong pembenci Jokowi. Tulisan yang menyudutkan Jokowi di RMOL, kemudian diamplifikasi oleh website, blog yang suga memiliki misi menjatuhkan wibawa pemerintah. Kelompok media ini bertujuan menciptakan persepsi publik kalau pemerintah stagnan, tidak bekerja dan sibuk bagi-bagi kursi. Padahal tujuan kelompok media pembenci Jokowi adalah menunggu ada ajakan untuk negosiasi, ditawari iklan, kerjasama kegiatan. RMOL telah mempertontonkan jurnalisme tanpa etika, jurnalisme hantam kromo, jurnalisme memeras, jurnalisme spin dan framming para makelar politik.
Apakah pantas simbol negara bersalaman dan foto-foto dengan pemimpin redaksi yang bekerja tanpa mengindahkan etika jurnalistik? Teguh dan jajaran Pengurus PWI tidak akan malu memajang foto salaman dengan Presiden Jokowi. Padahal Jokowi adalah sosok yang setiap hari dihina, direndahkan martabatnya. Seharusnya Teguh dan Pengurus PWI malu mengundang Presiden yang dianggap pantas dijatuhkan.
Ini hanya sebagian bukti bagaimana RMOL dijadikan corong menyebar kebencian pada Jokowi. Masih banyak bukti berita RMOL yang bertujuan mendelegitimasi Jokowi. Ketua Panitia HPN 2016, memimpin media untuk membangun opini secara sistematis kalau Jokowi pantas dijatuhkan. Pantaskah Jokowi datang ke HPN 2016?
1. Terbukti, Jokowi Tak Bisa Memimpin Dengan Baik