Peran guru sejatinya bukan saja sebatas pengajar. Guru adalah pengajar sekaligus pendidik. Guru tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya, tetapi juga menjadi teladan. Dalam budaya Jawa, guru itu bermakna di-gugu (ditaati) dan ditiru. Tindakan profesi yang dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa ini akan direkam dan direproduksi oleh para muridnya. Sungguh, bukan hal mudah untuk menjadi guru.
Belum meratanya infrastruktur di Tanah Air juga menjadi tantangan tersendiri. Di beberapa daerah terpencil, guru harus berjalan kaki bahkan bertaruh nyawa seperti kisah Suraban,guru SMPN Satu Atap Kotaip Oklip Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua.
Dikutip dari www.brilio.net, tempat mengajar Suraban, pemuda asli Desa Turi, Sidorejo, Ponjong, Gunungkidul Yogyakarta, ini merupakan wilayah paling timur Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Akses menuju wilayah terpencil ini sangat tidak mudah dan menguras tenaga. Pasalnya untuk menuju Distrik Oklip harus dilalui dengan jalur udara karena tidak tersedianya jalur darat. Perjalanan menggunakan pesawat pun tidak dilaluinya dengan mudah.
"Kami datang dari Kota Sentani menggunakan pesawat kecil AMA. Pesawat tersebut tidak dapat masuk ke Distrik Oklip saat itu angin terlalu kencang. Bahkan pesawat yang saya tumpangi hampir menabrak gunung. Beruntung Allah masih menjaga kami."
Tidak sampai di situ saja, karena pesawat tersebut tidak dapat menjangkau ke Distrik Oklip maka Suraban beserta rekan-rekannya pun harus rela berjalan selama empat jam dengan medan yang tidak mudah untuk mencapai wilayah yang dituju.
Selain medan yang berat, ia juga dihadapkan dengan kendala komunikasi dengan siswa-siswanya yang sebagian besar belum menguasai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Selain itu, daerah tempatnya mengajar belum ada listrik, hanya ada beberapa orang yang menggunakan panel surya dengan lampu yang hanya dapat menyala beberapa jam saja. Sinyal telepon pun baru bisa di dapat saat turun ke Kota Papua. Dari cerita Suraban itu, kita bisa membayangkan betapa berat tugas seorang guru. Rasanya kurang ajar jika kita melupakan jasa para guru. Merekalah yang mengajarkan baca tulis saat kita masih belum bisa apa-apa. Di sekolah, guru pula yang mengajarkan mana perbuatan baik, mana perbuatan buruk.
Saat anak didiknya sudah menjadi “orang” dengan simbol-simbol modernitas yang sering dipamerkan, boleh jadi guru kita masih seperti dulu. Bersahaja dan tetap setia berdiri di depan kelas untuk mengajarkan ilmu pengetahuan. Atau saat mantan anak didiknya sudah mondar-mandir ke luar negeri, sangat mungkin sang guru tidak pernah keluar pergi dari desanya demi menjalankan amanat mengajar dan mendidik.
Sangat mungkin masih ada Suraban-Suraban lain di negeri ini. Mereka rela bekerja di daerah terpencil. Mereka tidak mengeluh, apalagi berdemonstrasi meski dihadapkan pada kondisi serba minus. Semangat juang dan daya survival seperti Suraban layak ditiru dan semoga bisa menginspirasi para guru lain.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, guru SD saat ini paling banyak di Jawa Timur, yaitu berjumlah 220.479 orang, sedangkan paling sedikit di Papua Barat yaitu 3.396 orang. Sementara guru SMP paling banyak di Jawa Barat, yaitu 82.971 orang, dan paling sedikit juga di Papua Barat, yaitu 1.727 orang
Provinsi-provinsi dengan jumlah guru terbanyak ialah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Sementara provinsi-provinsi dengan jumlah guru paling sedikit ialah Papua Barat, Papua, Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, dan Maluku Utara.***