Kemendikbud berencana menggelar uji kompetensi guru (UKG) 2015. Pada tahun ini, UKG akan berlangsung pada 9-27 November 2015. Berbeda dengan UKG yang diadakan pada 2012, pada tahun ini seluruh guru tanpa pandang bulu akan diikutsertakan. Menilik data Kemendikbud, saat ini terdapat 3.015.315 guru dengan rincian 2.294.191 guru tetap (PNS dan yayasan/swasta) dan 721.124 guru tidak tetap.
Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud RI Sumarna Surapranata seperti diberitakan media mengatakan, UKG dimaksudkan untuk mengangkat derajat guru dan meningkatkan kompetensi, meminjam isitilah Iwan Fals, “Oemar Bakri” ini. Jadi, jauh dari semangat untuk menghukum, apalagi mempermalukan guru sebagaimana disinyalir Sulistyo, Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Semangat untuk menggenjot kompetensi guru itu jelas terlihat dari desain UKG. Bagi guru yang tidak memenuhi standar minimal kompetensi (pada tahun ini nilai 5,5) akan mengikuti pelatihan. Sedangkan guru yang mendapat nilai di atas standar atau mencapai sempurna akan dijadikan mentor. Standar nilai juga akan terus ditingkatkan. Pada 2019, standar nilai itu ditargetkan sebesar delapan.
UKG akan dilaksanakan dengan dua cara, yaitu dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring). Hanya 36 dari 520 kabupaten/kota yang tidak melaksanakan UKG secara luring. Dalam hal ini, Kemdikbud menyiapkan 200 paket soal untuk 200 mata pelajaran program keahlian. Waktu pelaksanaan tiap guru hanya berlangsung dalam satu hari, tepatnya selama 120 menit, pilihan ganda dengan jumlah soal 60-100 soal. Dalam satu hari, terdapat tiga gelombang UKG.
Seperti diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terdapat empat kompetensi yang wajib dimiliki guru yaitu pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Untuk menjalankan amanat undang-undangitu, pemerintah pun menggelar UKG.
UKG bertujuan untuk pemetaan kompetensi guru khususnya ranah pedadogik dan profesional pada bidang yang sesuai dengan sertifikat pendidik. Hasil UKG tersebut juga digunakan sebagai alat kontrol pelaksanaan penilaian kinerja guru, menentukan materi dan pola pelatihan guru, serta bahan pertimbangan pemberian penghargaan dan apresiasi kepada guru.
Namun demikian, niat baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kompetensi guru tidak sepenuhnya berjalan mulus. Bahkan mendapat kritik keras dari PGRI, organisasi yang seharusnya ikut bertanggung jawab meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dalam konferensi pers pada 20 Oktober 2015, di hadapan awak media di Jakarta, Ketua Umum OGRI Sulistyo menyampaikan keberatan. Ada dua poin yang menjadi keberatannya. Pertama, ia meragukan UKG mampu menentukan kualitas guru, dan publikasi hasil UKG. Dinilainya, UKG hanya menyentuh aspek pedagogik dan profesional. Sementara dua aspek lainnya, yaitu sosial dan kepribadian, tidak mampu diketahui dari UKG.
Kedua, soal publikasi hasil UKG. Publikasi, katanya, hanya akan mempermalukan dan memperolok-olok guru. Selain itu, dapat meruntuhkan kepercayaan orang tua murid terhadap guru yang mendapat nilai rendah.
Dengan adanya informasi tentang kompetensi guru, para orang tua punya referensi tentang guru tersebut. Orang tua yang well informed tentang sosok yang mengajar anak mereka berarti menunjukkan adanya kepedulian. Bagaimana bisa orang tua mempercayakan masa depan anaknya kepada sembarang orang?
UKG juga memacu guru untuk terus belajar dan mengasah kemampuannya. Apalagi sebelum digelar UKG, para guru di beberapa wilayah seperti di Surabaya, Jawa Timur, telah mendapat pembekalan, misalnya dengan Program Pemetaan dan Penguatan Kompetensi Guru Surabaya (P2KGS).
Hasil UKG pun tidak seharusnya membuat guru cemas. Toh, bagi guru yang sudah bersertifikat, ia dapat mengetahui progres kompetensinya. Sedangkan bagi guru yang belum mendapat sertifikat, ia memiliki kesempatan mendapat sertifikasi melalui pelatihan. Publikasi hasil UKG juga merupakan bagian dari transparansi sebagai salah satu sendi demokrasi pendidikan. Bukankah para orang tua peserta didik juga berhak mengetahui kompetensi guru yang mengajar anak-anak mereka?
UKG memang bukan obat mujarab dan satu-satunya untuk menjawab peningkatan mutu guru. Namun menolaknya mentah-mentah juga bukan langkah bijak. Apalagi asal menolak tanpa menyodorkan solusi konkret. Kini, saatnya guru menunjukkan kinerja dan kompetensinya. Selamat menempuh UKG 2015! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H