Dengan adanya informasi tentang kompetensi guru, para orang tua punya referensi tentang guru tersebut. Orang tua yang well informed tentang sosok yang mengajar anak mereka berarti menunjukkan adanya kepedulian. Bagaimana bisa orang tua mempercayakan masa depan anaknya kepada sembarang orang?
UKG juga memacu guru untuk terus belajar dan mengasah kemampuannya. Apalagi sebelum digelar UKG, para guru di beberapa wilayah seperti di Surabaya, Jawa Timur, telah mendapat pembekalan, misalnya dengan Program Pemetaan dan Penguatan Kompetensi Guru Surabaya (P2KGS).
Hasil UKG pun tidak seharusnya membuat guru cemas. Toh, bagi guru yang sudah bersertifikat, ia dapat mengetahui progres kompetensinya. Sedangkan bagi guru yang belum mendapat sertifikat, ia memiliki kesempatan mendapat sertifikasi melalui pelatihan. Publikasi hasil UKG juga merupakan bagian dari transparansi sebagai salah satu sendi demokrasi pendidikan. Bukankah para orang tua peserta didik juga berhak mengetahui kompetensi guru yang mengajar anak-anak mereka?
UKG memang bukan obat mujarab dan satu-satunya untuk menjawab peningkatan mutu guru. Namun menolaknya mentah-mentah juga bukan langkah bijak. Apalagi asal menolak tanpa menyodorkan solusi konkret. Kini, saatnya guru menunjukkan kinerja dan kompetensinya. Selamat menempuh UKG 2015! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H