Mohon tunggu...
Renggo Warsito
Renggo Warsito Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menaikkan Harga Diri Bangsa Melalui Asian Games

12 Oktober 2015   15:13 Diperbarui: 12 Oktober 2015   18:58 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gb. : sportanews.com"][/caption]Setiap negara ngotot untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games. Ada banyak motif yang melatarbelakanginya mulai dari ekonomi sampai nasionalisme. Asian Games ternyata lebih dari sekadar pertandingan olahraga.

Tiga tahun lagi, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games 2018. Dua kota yaitu Jakarta dan Palembang telah ditunjuk sebagai venue pertandingan event olahraga multicabang di tingkat Asia itu. Dalam perkembangannya, Asian Games bukan hanya sekadar pertandingan olahraga tetapi juga memiliki dimensi lain seperti sosial, budaya, dan ekonomi.

Sejak Asian Games digelar pertama di India pada tahun 1951, setiap negara berlomba untuk menjadi yang terbaik. Sejauh ini, hanya dua negara yang pernah menjadi kampiun event tersebut yaitu Jepang dan Tiongkok. Selain itu, negara- negara dari Asia Timur terlihat mendominasi dalam perolehan medali setiap penyelenggaraan Asian Games.

Tidak hanya pertarungan di venue atau lapangan saja yang seru, tetapi ambisi menjadi tuan rumah pun terkadang bersifat dramatis. Lihat saja saja Jakarta menang menjadi tuan rumah Asian Games IV pada tahun 1962. Saat itu, walau dalam kondisi krisis, Presiden Soekarno sangat berambisi menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games.

"Memberantas kelaparan memang penting. Akan tetapi, memberi makan jiwa yang telah diinjak-injak dengan sesuatu yang dapat membangkitkan mereka, penting pula. Indonesia harus membangkitkan kepercayaan kepada diri sendiri dan menghilangkan perasaan rendah diri," kata Soekarno dalam buku yang ditulis Cindy Adams, pada 1966.

Saingan terberat Jakarta untuk menjadi tuan rumah saat itu adalah Karachi, Pakistan. Untuk itu, Soekarno mengirim delegasi khusus untuk melobi negara-negara lainnya agar memilih Indonesia sebagai tuan rumah. Akhirnya, Jakarta berhasil memenangi persaingan melawan Karachi dengan perolehan suara tipis. Jumlah suara 22 untuk Indonesia dan 20 untuk Karachi, serta satu suara  gugur.

Soekarno yakin dengan menjadi tuan rumah turnamen olahraga tingkat Asia otomatis akan meningkatkan bargaining position Indonesia dalam percaturan politik dunia. Ia pun mengabaikan kondisi ekonomi yang saat itu sedang terpuruk. Untuk itu, pembangunan infrastruktur seperti Stadion Utama Senayan (kini Gelora Bung Karno) pun dikebut. Selain itu, pembangunan jembatan Semanggi dan Tugu Selamat Datang juga berhasil dituntaskan.

Selain itu, membuat jalan baru dari dan menuju Kompleks Senayan, ring road pertama yang merupakan Jalan Jakarta by-pass dan Jalan Slipi-Gatot Subroto, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, Wisma Warta, Pusat Perbelanjaan Sarinah, dan Monumen Nasional. Proyek-proyek tersebut dianggap Soekarno sebagai proyek 'Nation and Character Building' dalam menemukan kembali 'kepribadian nasional' bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan dengan bangsa lain.

Mengacu sumber yang sama di atas, Soekarno mengatakan "... jikalau saya hubungkan, Asian Games dengan negara, dengan bangsa, dengan Tanah Air, dengan gengsi Indonesia, saya melihat hubungan yang amat erat sekali. Dan, kita semuanya harus mengangkat gengsi Indonesia, mengangkat nama Indonesia, mengangkat prestise Indonesia. Jikalau Asian Games berjalan dengan sebaik-baiknya, gengsi dan nama Indonesia naik setingkat lagi. Jikalau Asian Games gagal, tidak baik, tidak sempurna, nama Indonesia hancur lebur dipandang dunia seluruhnya,".

Dari pernyataan Presiden pertama RI itu nyata sekali bahwa Asian Games bukan hanya terbatas pertandingan olahraga, tetapi juga mengusung harga diri bangsa. Sehingga persiapan yang dilakukan pun sangat serius dan sungguh-sungguh. Bahkan, lanjutnya, event olahraga itu dapat digunakan sebagai medium membentuk karakter bangsa. Sebuah pemikiran yang visioner dan tetap relevan hingga kini.

Tidak heran jika setiap tuan rumah Asian Games memvisualisasikan harapannya melalui sebuah maskot. Ambil contoh pelaksanaan even tersebut di Incheon Korea Selatan tahun lalu. Pesan sangat jelas tergambar dari maskot yang ditampilkan yaitu spesies anjing laut perairan Incheon, Pulau Baengnyeong. Tiga bersaudara anjing laut bernama Vichuon, Barame, dan Chumuro menjadi maskot saat itu.

Vichuon dalam bahasa Korea berarti 'cahaya' tampil dengan kulit berwarna coklat. Kakak pertama dari trio anjing laut itu memiliki peran penting dalam harmoni dan persahabatan. Berada di lokasi paling utara Republik Korea, binatang tersebut juga kerap kali melakukan perjalanan bebasnya di antara Korea selatan dan Korea Utara. Simbolisasi Vichuon diharapkan mampu mengurangi ketegangan yang selama ini terjadi di semenanjung Korea.

Sedangkan Barame, tampil dengan warna dominasi biru. Dalam bahasa Korea, Barame memiliki arti 'angin'. Tak heran bila maskot berjenis kelamin laki-laki ini digambarkan dapat bergerak dengan cepat. Barame juga melambangkan kemajuan olahraga di Kota Incheon. Adik bungsu mereka yang juga menjadi maskot terkecil sekaligus satu-satunya perempuan ini bernama Chumuro. Chumuro tampil cantik dengan warna kulit merah mudanya, perilakunya yang ceria dan bersemangat sesuai dengan arti dari namanya itu. Chumuro dalam bahasa Korea berarti 'tari' (chum) mendapat tugas untuk mempromosikan kebudayaan Korea.

Dimensi lain yang tidak kalah pentingnya tentu saja ekonomi. Dengan pembangunan infrastruktur pastinya ekonomi bergerak. Selain itu, selama pertandingan tentu saja akan dikunjungi jutaan pengunjung, baik atlet maupun suporternya. Ini dapat meningkatkan transaksi di dalam negeri. Tingginya demand akan berpengaruh pada perputaran roda ekonomi.

Ada banyak subsektor yang dapat mengagregasi pertumbuhan ekonomi melalui Asian Games. Mulai dari penjualan kaos, topi, dan suvenir, hunian hotel, pariwisata, sampai hak siar televisi. Semua itu dapat menghasilkan uang yang jumlahnya tidak kecil.

Asian Games seperti halnya Olimpiade juga dapat mempromosikan sebuah bangsa. Sehingga identitasnya dapat dikenal oleh bangsa lain. Ambil contoh, negara Timor Leste yang baru saja merdeka dari Indonesia. Melalui ajang Asian Games, mereka dapat mengenalkan identitas bangsanya ke seluruh Asia, bahkan dunia. Apalagi jika atletnya berprestasi akan semakin mempopulerkan negaranya. Pengibaran bendera negara asal pemenang menjadi momen yang mengharukan dalam setiap perhelatan olahraga.  

Asian Games adalah alat diplomasi yang efektif. Para atlet dapat dijadikan duta bangsa melalui capain prestasi. Penonton yang memenuhi stadion adalah pembawa obor semangat prestasi. Dan di atas semuanya mendengarkan lagu Indonesia Raya berkumandang di stadion dapat menumbuhkan kebanggaan bangsa. Namun seluruh rencana besar di ajang Asian Games tidak akan pernah kita gapai bila Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sebagai induk penyelenggara even lumpuh, tidak dapat menjalankan fungsinya. Kita harus memastikan KOI tetap bisa bekerja tanpa gangguan. Bila ada sedikit saja gangguan yang menyebabkan terpecahnya KOI, Komite Olimpiade Internasional bisa memberikan sanksi pembekuan. Buntutnya cabang olah raga akan ditangguhkan kesempatan berlaga di ajang internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun