Semboyan yang masih terngiang jelas dalam benak anak-anak Indonesia dari zaman dulu hingga kini, “Nenak Moyangku Seorang Pelaut” namun aku ‘bukan’ pelaut, itulah kenyataannya. Sekian banyak anak negeri ini yang bila ditanya apakah mau menjadi nelayan atau menjadi pelaut, maka hampir bisa dipastikan bahwa lebih dari setengah menjawab tidak. Alasannya paling mendasar, nelayan atau pelaut itu pekerjaan yang masuk dalam kelas bukan kantoran, pekerjaan kasar, dan pekerjaan dengan gaji rendah. Ini tercermin dari sistem pendidikan di negri ini yang masih memberikan prioritas pekerjaan yang membanggakan yaitu polisi, tentara, pegawai, pilot, dokter dan profesi-profesi bergengsi lainnya. Nelayan dan pelaut dan pekerjaan-pekerjaan yang berbasis laut tidak enak ditelinga dan masuk pekerjaan buruh. Itulah jadinya, bangsa ini mundur dalam pendidikan maritim dan sektor maritim secara umum. Dengan berkembangnya horizon khasanah ilmu pengetahuan, maritim tidak lagi dipandang terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan pelayaran dan laut. Maritim itu budaya, maritim itu warisan, maritim itu urat nadi pergerakan dan aliran energi bagi bangsa-bangsa yang menggantungkan kehidupan kesehariannya di laut.
Memang tak bisa dipungkiri sejak satu dasawarsa terakhir, laut telah menjadi perhatian serius. Setelah terpilihnya Presiden Jokowi sebagai presiden, laut menjadi tonggak utama pembangunan, khususnya pembangunan infrastruktur yang saat ini digenjat-genjot dengan nama ‘Tol Laut’. Alokasi anggaran pembangunan diberikan dengan porsi besar dengan menggaet investor dan pengusaha dalam mencapai impiannya. Manfaatnya bisa secara langsung memberikan aliran energi dan ekonomi karena terbukanya akses-akses ke daerah-daerah dengan adanya aliran barang dan uang. Namun apakah ini yang diharapkan untuk membangun Indonesia yang sejak zaman dulu? Kelihatannya masih jauh dari harapan. Infrastruktur yang dibangun harusnya diikuti pula dengan adanya akses-akses dasar pembangunannya. Sebagai daerah dengan laut sebagai sumberdaya utama (main resources) maka harusnya pendidikanlah yang harus dibentuk dan ditata terlebih dahulu dengan perencanaan yang lebih matang bahkan harus dibuatkan cetak biru jangka panjang. Untaian pulau besar dan kecil dengan jumlah penduduk yang mendiaminya terbangun atas suku bangsa dan bahasa beragam yang bercirikan kemaritiman selama ini belum mendapat perhatian yang lebih serius. Pemberlakuan pendidikan nasional yang masih beriorentasi terhadap daratan masih menjadi bukti nyata yang tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan kita masih berorientasi darat. Kita juga tidak boleh menafikan bahwa adanya beberapa mata pelajaran lokal (mata pelajaran mulok) yang berorientasi laut di beberapa daerah di Indonesia khususnya daerah-daerah yang pernah mendapat program COREMAP (Coral Reef and Management Program) dan beberapa daerah yang pernah di menjadi daerah pengabdian WWF Indonesia dan juga beberapa organsasi lain. Pekerjaan pembangunan pendidikan secara isidential dengan luasan dan anggaran yang terbatas yang seperti yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut tidaklah cukup untuk membangun pendidikan maritime di benua maritime, Indonesia. Pendidikan maritim di benua maritime haruslah dapat dibangun dari fondasi paling dasar yaitu sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional harus dirancang untuk menjadikan laut sebagai tumpuan utama pendidikan. Kebijakan pembangunan pendidikan nasional dengan adanya amanah UUD 1945 dengan menempatkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN harus dapat membangun sistem pendidikan ini. Para pengambil kebijakan di bidang pendidikan harus sadar akan kebutuhan mendesak dan mendasar ini dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang bertumpu pada pendidikan daratan, maka pendidikan itu dirasa (pincang), jalannya masih belum sempurna. Maka harus dibenahi terlebih dahulu fondasi pendidikannya. Meskipun kita juga tidak menutup mata dengan banyaknya Universitas yang membuka jurusan pelayaran, perikanan dan kelautan dan jurusan-jurusan yang sejenisnya dan adanya SMK Pelarayan atau Kelautan yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun itu tidak cukup. Karena pendidikan sesungguhnya yang harus dibangun adalah pendidikan maritim dasar pada pendidikan dasar 9 tahun.
Perencanaan pembangunan maritim di Indonesia yang berbasis maritim haruslah mampu mengintegrasikan sistem pendidikan teknologi informasi yang berkembang saat ini dengan begitu pesatnya sehingga menjadi pembelajarannya menarik baik di ruang kelas maupun di lapangan (media pembelajaran praktek lapang). Re-strukturisasi kurikulum dan metode pembelajaran menjadi kunci penentu aksesibilitas pendidikan maritime di Indonesia. Selain itu, pembangunan infrastruktur pendidikan yang berfokus pada maritime juga harus menjadi perhatian yang tidak boleh dilepaskan dalam pelaksanaannya. Muatan-muatan kelokalan dan nilai-nilai moral lokal juga kiranya diperhitungkan perencanaan tersebut.
*La Ode Wahidin adalah seorang perantau asal Wakatobi yang saat ini tengah menjelajahi samudera pendidikan dan berusaha untuk berbagi dengan ikhlas kepada yang membutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H