Mohon tunggu...
Nocky Sakti
Nocky Sakti Mohon Tunggu... -

Penulis adalah Owner dari Pelangi Group yang memiliki 5 cabang usaha seperti travel, privat, training, refill dan Yayasan sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jujur Itu Bukan Prestasi

7 Mei 2010   01:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:22 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kepergian Sri Mulyani seusai melepas jabatannya sebagai menteri keuangan semestinya memberikan gambaran penting betapa bangsa kita ini masih belum mampu menghargai kredibilitas insan-insan yang bersinar dalam memajukan Indonesia. SBY seakan kembali menambah daftar perbendaharaan sosok-sosok yang hanya bisa dihargai oleh masyarakat asing daripada bangsa itu sendiri.

Dalam skala yang lebih luas, mungkin bangsa ini harus lebih cermat mengamati mana orang jujur dan mana pendusta. Jika Sri Mulyani bukan orang jujur, mana mungkin bank dunia yang membawahi hampir dari semua negara merekrut individu yang punya catatan buruk di negerinya sendiri. Menilik dari segi prestasi, Sri Mulyani mampu mengeluarkan Indonesia dari berbagai krisis. Inikah tanda jika bangsa kita belum punya daya selektif kuat tentang apa sebetulnya makna jujur dan prestasi itu.

Jujur dalam hidup seringkali dipermainkan. Umumnya masyarakat berpandangan untuk mencari orang yang benar-benar jujur di zaman ini teramat sulit. Mengingat, menjadi orang jujur banyak rintangannya. Apalagi kalau harus menjadi sosok yang benar-benar jujur.

Ada sebuah anekdot, "jika anda hidup di kota metropolitan, maka jadi orang tuh jangan jujur-jujur banget, karena orang ga bakal suka. Ngapain juga jujur kalau hidup di tengah-tengah orang bermental yang motifnya selalu mencari keuntungan. susah, dijamin gak akan pernah kaya.

Bicara prestasi, sosok yang betul-betul dihargai adalah mereka yang bergelar tinggi dan berstatus akademik hingga level internasional. Bagi mereka yang hidup di dalam garis "pertengahan ke bawah", sulit buat mereka menunjukkan taring di negeri ini. Prestasi sering dilihat dari sisi nilai, bukan skill.

Ada sebuah kasus, di salah satu sekolah negeri di Depok, rumornya, Kepala Sekolah mempunyai prestasi mengesankan hingga menjadi Kepala Sekolah teladan tingkat Jawa Barat, Ia menjadi contoh karena banyak menghasilkan karya tulis dan punya nilai baik dalam catatan akademiknya.

namun bila dilihat dari kepemimpinan di sekolahnya kemarin, manajemennya terkesan sangat tidak teratur. pengaturan keuangan kacau, dekorasi ruangan asal, penataan staf tidak sesuai pada tempatnya, kebersihan dan pembangunan pun dipertanyakan.

Saya jadi teringat fenomena siswa instan yang ingin lulus UN. mereka menempuh ujian dengan segala cara. dimulai dari membeli soal hingga mendapatkan bocoran baik dari guru ataupun "terowongan" lainnya. Tujuannya satu, yang penting lulus. Mereka tidak lagi bicara kejujuran, karena mereka tahu yang paling dihargai di Indonesia ini adalah prestasi akademik bukan kejujuran. Anda hidup jujur itu bisa mati. Mungkin anda bisa bertahan, tapi tidak akan lama. Sebaliknya, raihlah gelar setinggi-tingginya agar orang memandangmu penuh dengan prestasi.

Dalam selebaran undangan pernikahan, saya cukup terpana ketika melihat calon suami teman mempunyai pangkat yang berderet rapi seperti kereta. Semuanya ditulis.  Entah motifnya apa, yang jelas apa yang terkesan dalam diri saya adalah sebuah kata "wuiiiih........", simbol ucapan kekaguman atas gelar yang diraih tanpa tahu apakah memang seimbang antara gelar dengan skill yang diperoleh dan bagaimana dia memperoleh gelar tersebut.

Pasca lengsernya Sri Mulyani, muncul sederet nama-nama baru dan muka-muka lama. Kita lihat saja nanti pembuktiannya, apakah bangsa ini kembali memilih sosok berdasarkan gelar atau track recordnya di bidang keuangan.jujurkah yang menjadi parameter atau gelar yang menjadi patokan. Jika prestasi akademik saja yang dilihat, ini jelas menandakan adanya isyarat kepentingan.

Saya ulangi, karena masyarakat cenderung melihat gelar akademik sebagai prestasi, maka mereka akan berdecak kagum. Kagumnya mereka merangsang ketundukan untuk patuh terhadap kebijakan-kebijakan meskipun tujuannya menindas. Dengan kata lain, prestasi akademik memudahkan orang-orang yang punya kepentingan untuk menjalankan kekuasaannya. Ia akan menjadi pintu utama penyelenggara suatu kebijakan. mutlak, orang ini pun akan mendukung apapun keputusan atasannya. Dan, bersiaplah jika pengganti ini akan harum namanya karena "prestasi" telah membanggakan atasannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun