Untuk memberikan sedikit gambaran, pada tahun 1992, kelompok Hindutva merusak dan menghancurkan sebuah masjid yang didirikan pada abad ke-16, yaitu Masjid Babri.
Mereka percaya bahwa masjid ini didirikan di lokasi kuil yang menandai tempat kelahiran Dewa Rama, meskipun tidak ada bukti sejarah yang mendukung klaim ini.
Tindakan ini memicu kerusuhan nasional yang mengakibatkan ribuan warga Muslim tewas. Ironisnya, pembongkaran tersebut justru dijadikan momen penting oleh gerakan Hindutva yang menganggap agama Hindu sebagai agama asli India.
Keyakinan ekstrem ini juga membuka jalan bagi Modi untuk meraih posisi puncak di India pada tahun 2014. Sebelum menjadi Perdana Menteri, Modi dikenal sebagai seorang nasionalis Hindu.
Peran Modi dalam memperkuat islamofobia telah jelas terlihat sejak lama, seperti dalam peristiwa pembersihan etnis Muslim di Gujarat pada tahun 2002. Kekerasan ini meletus setelah gerbong kereta yang membawa para peziarah Hindu terbakar.
Namun, Modi mengalihkan tanggung jawab dengan menuduh Badan Intelijen Pakistan dan mengawal jenazah korban melalui Kota Ahmedabad.
Pernyataan tersebut kemudian berubah menjadi gelombang pembunuhan dan pemerkosaan yang menargetkan warga Muslim. Sebagai akibatnya, hampir 2.000 orang tewas, 2.000 rumah warga Muslim hancur, dan 150.000 orang menjadi pengungsi dalam peristiwa tersebut.
Pelantikan Modi sebagai Perdana Menteri semakin memperparah sentimen anti-Islam di India, karena Modi secara sistematis mendorong islamofobia melalui kebijakan negara. Tidak mengherankan, di tengah maraknya sentimen anti-Muslim, pemerintahan Modi dan Partai BJP tampak diam dan akhirnya mendapat kritik internasional.
India hanya sebagian kecil contoh negara dengan islamofobia yang semakin parah. Selain India, islamofobia juga termanifestasi dalam bentuk kekerasan oleh pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya dan oleh pemerintah Tiongkok terhadap Muslim Uighur.
Dalam kasus khusus Rohingya dan Uighur ini, islamofobia bahkan lebih serius, hingga mendekati tindakan genosida.
Karena itu, ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken merayakan Hari Internasional Perangi Islamofobia pada Maret 2023 lalu sebenarnya hanya upacara formal dan omong kosong belaka. Kasus islamofobia di Barat dan di wilayah lain tidak berhenti hanya karena pernyataan semacam itu.