Kasus penipuan yang melibatkan Rihana Rihani, kembar identik yang berhasil menipu para korban dengan modus pre-order iPhone senilai Rp 35 miliar, telah menjadi sorotan publik. Mereka dikenal sebagai sosok yang ramah dan akrab dengan pelanggan mereka. Namun, akhirnya mereka tertangkap dan dihadapkan pada tindakan hukum.
Proses penangkapan Rihana dan Rihani melibatkan kerjasama antara tim Resmob Polda Metro Jaya, keluarga, dan petugas keamanan apartemen tempat mereka tinggal. Saat ini, pihak berwenang masih melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kedua tersangka dan sedang menyelidiki apakah ada keterlibatan keluarga dalam pelarian mereka.
Sosok Rihana Rihani sebenarnya tidak seperti yang terlihat. Mereka pernah bekerja di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan menggunakan hubungan tersebut untuk menjual produk dengan harga murah, resmi, dan bergaransi. Masyarakat tertarik membeli dari mereka karena kualitas dan reputasi yang terbangun.
Namun, kehidupan mewah Rihana dan Rihani mengundang tanda tanya. Mereka pernah tinggal di perumahan elite dan memiliki beberapa mobil. Meskipun mereka dikenal sebagai sosok yang baik di mata tetangga, nyatanya mereka terlibat dalam tindak kejahatan yang melibatkan penipuan dan penggelapan.
Kasus Rihana Rihani ini sebenarnya mengajarkan kita sebuah pelajaran. Industri gaya hidup yang tumbuh subur dalam sistem kapitalisme dan kebebasan individu telah menciptakan paradigma hidup yang salah. Masyarakat terpapar berbagai produk dan promosi yang menciptakan kesan prestisius dan identitas diri. Konsumsi menjadi tidak hanya tentang nilai guna, tetapi juga tentang nilai identitas. Masyarakat mudah tergoda dalam transaksi yang menggiurkan, termasuk penipuan.
Namun, kita perlu meluruskan persepsi kita tentang standar kebahagiaan. Kebahagiaan sejati tidak tergantung pada kemewahan materi yang kita miliki. Kita perlu merevisi kembali standar hidup masyarakat kita yang dipengaruhi oleh industri gaya hidup yang eksploitatif. Dalam Islam, kebahagiaan terletak pada rida Allah, bukan pada kekayaan duniawi. Kita perlu mengembalikan syariat sebagai patokan dalam segala aspek kehidupan kita.
Kasus penipuan seperti yang dilakukan Rihana Rihani adalah konsekuensi dari sistem kapitalisme dan paradigma hidup yang salah. Oleh karena itu, kita perlu memperbaiki persepsi kita dan merevisi standar hidup yang lahir dari sistem tersebut. Jika tidak, industri gaya hidup akan terus mengeksploitasi manusia, dan kasus penipuan seperti ini akan terus muncul. Kita harus menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dicapai dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai standar hidup duniawi.Â
Semoga kita dapat belajar dari kasus Rihana Rihani ini dan mengambil langkah-langkah yang benar dalam menjalani kehidupan kita. Wallahualam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H