Indonesia melalui Perum Bulog sudah memastikan akan impor beras pada bulan Desember 2022 ini.
Sebelumnya, dari Januari hingga Oktober 2022, Indonesia sudah empat kali impor beras, dengan rincian kuartal I: 51.408,05 ton, kuartal II: 75.075,08 ton, kuartal III: 162.224,02 ton, dan kuartal IV (sampai Oktober): 12.999,01 ton (katadata.co.id, 29/11/2022).
Impor beras dilakukan karena Kementerian Pertanian gagal menyerap beras dari petani dalam rangka memenuhi kebutuhan cadangan beras pemerintah (CBP).
"Ini kita upayakan sampai bulan Desember. Kan ini tinggal hanya hitungan mingguan. Itu yang saya inginkan, yang kita harapkan. Karena tadi sudah jelas ya, kita tidak berhasil mendapatkan yang dari dalam negeri jumlah 500.000, hanya 166.000. Maka kita harus siapkan minimal 200.000," ujar Direktur Utama Bulog Budi Waseso dikutip dari kompas.com, 8 Desember 2022.
Kebijakan tersebut sangat disayangkan, mengingat Indonesia baru menerima penghargaan soal ketahanan pangan dan sukses swasembada pangan periode 2019 -2021.
Diketahui penghargaan tersebut diterima dari International Rice Research Institute (IRRI) pada tanggal 14 Agustus 2022.
Banyak yang mempertanyakan mengapa Indonesia sebagai negara agraris dengan lahan pertanian subur yang luas dan iklim yang mendukung, tetapi masih ada wacana untuk impor beras?
Menurut Mantan Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso permasalahan ini harus diatasi dari hulu sampai hilir.
Permasalahan di hulu di antaranya pupuk yang kadang terlambat, harganya naik, tidak punya modal, sehingga menunggu bantuan, bibitnya tidak pernah diganti, bibitnya sudah tidak baik, dan lain-lain.
Dari sisi hilir yang harus dibenahi adalah soal pemberian mesin pengering padi yang salah sasaran sehingga tidak efisien.
Jika diamati, kendala yang disebutkan bukan hal yang sulit untuk diatasi selama ada keinginan yang kuat dari pemerintah.
Kendala teknis yang sebenernya mudah untuk diatasi, tetapi tidak kunjung selesai, berarti ada kendala yang lebih besar yang menghantui.
Sehingga bisa diimpulkan bahwa permasalahan sudah merambat pada taraf ideologi yang lemah dalam menuntun negara untuk berpihak pada rakyat agar mampu mewujudkan kemandirian pangan.
Kemandirian pangan dalam Islam
Islam bukan sekedar agama ritual. Agama ini mempunyai seperangkat aturan yang mumpuni mengatasi seluruh problematika kehidupan, termasuk kemandirian pangan.
Kebijakan pangan dalam Islam disusun untuk mewujudkan terciptanya kemandirian pangan.
Dalam Islam diwajibkan adanya penguasaan sektor industri vital yang sinergis oleh negara, seperti pertanian, perikanan, farmasi, transportasi, telekomunikasi, infrastruktur, teknologi, dan sebagainya.
Semua aspek industri yang terkait, khususnya masalah pangan dibangun dalam mindset kemandirian.
Sehingga minim bahkan tidak ada ketergantungan kepada asing, baik dari sisi teknologi, ekonomi, maupun politik.
Sabda Rasulullah saw., "Imam adalah raa'in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR Muslim dan Ahmad).
Berdasarkan pandangan tersebut, maka negara sepenuhnya bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan kemandirian pangan.
Negara nantinya mampu mengendalikan arah politik pangan dan mengejawantahkan dalam hukum positif yang sesuai tuntunan Islam.
Tidak diperbolehkan campur tangan korporasi dan pihak asing dalam mengendalikan kebijakan negara.
Mengikuti sabda Rasulullah saw, seluruh lembaga pemerintahan wajib menjalankan perannya sebagai raa'in atau pengurus seluruh rakyatnya.
Dengan demikian maka diharamkan bagi lembaga negara (semisal Bulog) membisniskan layanan kepada masyarakat.
Jika mindset negara dalam Islam sudah paten hanya untuk melayani masyarakat dalam hal kemandirian pangan, maka masalah teknis tidak lagi menjadi soal.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H