Pemerintah tengah mencanangkan kebijakan migrasi televisi (TV) analog ke TV digital. Di wilayah jabodetabek kebijakan penghentian TV analog sudah dilakukan per tanggal 2 November yang lalu. Menariknya ada sebuah video yang beredar yang memperlihatkan seorang anak menangis karena tidak bisa menonton TV, dan diberi tulisan bahwa orang tuanya tidak mampu membeli Set Top Box (STB). Â Siapkah rakyat berpindah ke TV digital?Â
Digitalisasi televisi tentu saja disukai oleh warga. Orang pasti akan lebih senang ketika menonton TV, karena layar menjadi lebih jernih. Masalahnya, program ini dikeluarkan saat masyarakat dihimpit masalah ekonomi. Kebijakan pemerintah tersebut dinilai DPRD Kabupaten Bogor hanya memihak kepentingan bisnis para pengusaha.Â
"Ini kepentingan "cukong" yang dipaksakan dalam bentuk kebijakan, tolong lah pemerintah pusat kasian sama masyarakat, sama rakyat kita yang hari ini sedang sulit, jangan ditambah lagi kesulitannya," ujar Sekretaris Komisi II DPRD Kabupaten Bogor, Lukmanudin Ar-Rasyid (rbg.id, 09/11/2022).
Sebenarnya dilansir dari website kominfo pusat, pemerintah sudah memberikan solusi dengan mendistribusikan 6,7 juta STB gratis kepada Rumah tangga miskin (RTM). Syaratnya mereka harus terdaftar dalam data DTKS Kemensos. Masalahnya, apakah data tersebut akurat?Â
Tentang masalah data, kita mungkin masih ingat beberapa waktu lalu pemerintah sendiri mengakui ada kesalahan data penerima bantuan sosial. Di sisi lain, jumlah masyarakat miskin hari ini kemungkinan mengalami peningkatan akibat harga BBM naik. Sehingga banyak warga masuk kategori "miskin", tapi tidak atau belum terdata.Â
Faktanya ada laporan dari beberapa desa, sejumlah masyarakat yang menerima STB gratis itu tidak memiliki TV. Sementara masyarakat miskin lainnya dipaksa membeli TV digital dengan STB yang saat ini harganya mulai melonjak naik (rbg.id, 09/11/2022).
Perlu diketahui bahwa aturan analog swith off (ASO) sudah tercantum dalam UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pasal 60A. Dalam pasal tersebut dituliskan bahwa ASO harus dilakukan selambat-lambatnya tanggal 2 November 2022. Stasiun TV yang tidak mau berpindah ke digital maka akan dianggap ilegal.Â
Memang masih ada stasiun TV yang masih menyiarkan TV analog, dan hal ini dianggap sebuah pembangkangan. Padahal kita harus paham bahwa bangsa kita tipikal tertib dan mau mangikuti apapun kebijakan negara, asal sanggup dilakukan. Jika memang banyak msyarakat yang tidak bisa mengakses STB, maka wajar ada stasiun TV yang masih ngotot menyiarkan TV analog.Â
Sementara banyak yang menuding lagi dan lagi kebijakan yang berasal dari Omnibus Law ini memang tidak memihak rakyat kecil. Minimal pengusaha STB bisa meraup untung besar dari kebijakan tersebut. Tak salah jika semakin banyak rakyat yang menuntut dicabutnya Omnibus Law.Â
Jika memang pemerintah tetap ingin berhijrah ke TV digital pada kondisi ekonomi yang sulit seperti ini, harusnya pemerintah berempati memberikan STB gratis ke seluruh warga. Untuk warga yang sudah punya biasanya akan menolak atau mengembalikan. Itu budaya malu bangsa ini. Kalau negara tidak sanggup, maka negara mungkin bisa kembali menurunkan harga BBM, sehingga rakyat mampu membeli STB secara mandiriÂ
Apabila kedua opsi tersebut tidak bisa dilakukan, maka negara lagi-lagi gagal mengurus rakyatnya. Kezaliman terus dilakukan pada rakyat kecil. Rakyat belum bisa bernapas lega akibat dampak pandemi, lalu diberi kado pahit kenaikan harga BBM. Selepas penat bekerja, wajar jika ingin mendapat sedikit hiburan dengan menonton TV. Sayangnya hal itu kini tidak bisa lagi dilakukan. Ketika rakyat stres, depresi yang berujung pada kriminalitas lagi-lagi rakyatlah yang menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan, akibat kurang iman.Â