Tertangkapnya Rektor Unila dalam kasus suap mengejutkan banyak pihak. Sebagai pucuk pimpinan sebuah lembaga pendidikan tentunya hal ini mencoreng nama baik institusi pendidikan. Namun banyak juga warganet yang berkomentar bahwa kasus sogok menyogok dalam dunia pendidikan sebenarnya bukan hal yang baru. Bahkan sudah ada di jenjang sekolah menengah.
Dalam ilmu ekonomi dikenal dengan istilah permintaan-penawaran. Di tengah masyarakat tidak sedikit orangtua dari kalangan menengah ke atas yang masih menjaga gengsi. Mereka tidak rela anak emasnya gagal masuk ke sekolah favorit atau unggulan, meskipun secara prestasi akademik sebenarnya tidak mampu. Ketika muncul permintaan, otomatis akan muncul sebuah penawaran. Bisa diperhalus dengan nama jalur mandiri, khusus atau apapun itu.
Hal pertama yang masih terpatri dalam benak orangtua di Indonesia adalah seorang anak dianggap mempunyai masa depan yang suram jika tidak bersekolah di institusi Pendidikan bergengsi atau favorit. Di sisi lain, harus diakui ada perbedaan kualitas pendidikan yang diberikan oleh katakanlah, sesama sekolah negeri, apalagi sudah berbeda wilayah. Misalkan sekolah negeri di Surabaya dibandingkan dengan di Ternate. Ketimpangan ini juga merupakan PR yang harus segera diberi solusi.
Dari sini bisa dipahami jika konsep tujuan pendidikan gagal ditanamkan. Menurut Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Apakah dengan memaksa anak masuk sekolah bergengsi mereka akan dijamin bahagia? Jika saja anak-anak yang sangat menginginkan masuk kampus favorit, tapi kemampuan akademik mereka tak mumpuni, apakah mereka nantinya akan bahagia jika prestasinya akan terus merosot? Disinilah tugas orang tua menggali bakat dan kemampuan anak juga mendampingi mereka jika memang akhirnya tidak lolos masuk ke kampus impian.
Yang jadi gundah gulana selanjutnya adalah kasus korupsi yang masih membelit di segala lini. Apakah memang sesulit itu memberantas korupsi hingga akar-akarnya? Butuh berapa dekade lagi bangsa ini akan merdeka dari korupsi?
Malu rasanya sebagai negara mayoritas muslim, tapi korupsi malah membudaya. Lucu sekaligus miris. Karena setiap muslim pasti paham bahwa kebohongan adalah dosa. Apalagi menerima uang atau hadiah yang bukan haknya jelas suatu kesalahan. Dan sebuah kejujuran akan diganjar pahala yang besar. Tetapi mengapa hal seremeh itu tidak bisa diamalkan oleh seorang muslim? Dimanakah salahnya?
Sekularisme: Sebuah Akar Masalah
Indonesia memang bukan negara agama. Lalu dimanakah tempat dan peran agamanya? Jamak dipahami bahwa agama hanya boleh mengatur urusan privat, ruang publik dikondisikan agar hampa agama. Maka wajar masih saja ditemui sekolah negeri yang melarang siswinya berjilbab. Karena sekolah termasuk kedalam ruang publik yang tidak bebas untuk mengekspresikan akidahnya.
Holyoake mendefinisikan sekularisme dalam English Secularism: a Confession of Belief (1896) sebagai "Seperangkat tanggung jawab yang berkaitan dengan kehidupan ini, berdasarkan pada pertimbangan yang murni manusiawi. Maknanya Tuhan tidak diberi ruang untuk mengatur manusia.
Secara historis, sekularisme berjalan bertahap sejak Revolusi Perancis (1789-1799) hingga awal abad ke-20. Perancis tak segan melucuti wewenang gereja hingga tak tersisa sama sekali. Sejak itu, sekularisme menjadi arus utama dalam pelbagai percakapan mengenai kebudayaan modern, baik soal politik, norma, maupun ilmu pengetahuan. Arus itu mengalir deras sampai ke negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia, di mana bangsa-bangsa Eropa melangsungkan praktik kolonialisme.
Terlepas dari banyak yang tak mau mengakui kesekularan negara ini, namun fakta membuktikan bahwa agama menjadi malu-malu jika memasuki ranah publik. Tak masalah jika ingin menjadi insan yang salih, namun hanya berkutat pada urusan individu. Sehingga urusan suap menyuap di sekolah dan kampus menjadi barang halal dan tak membuat merasa berdosa. Pelecehan seksual di perguruan tinggi menjadi hal yang lumrah.
Setiap insan yang berakal sehat tidak akan mungkin sepakat bahwa ada ruang hampa Tuhan di dunia ini. Pasti akan ada campur tangan Pencipta disana. Perputaran planet pada poros derajat yang tepat setiap detiknya adalah secuil bukti bahwa Tuhan Maha Pengatur. Lalu manusia dengan keterbatasan akalnya, Â yang sengaja ditunjuk Allah swt sebagai pemimpin bumi, apakah bisa jika tidak diatur oleh syariat Allah?
Maka disinilah kita perlu merenung sebenarnya sekularisme adalah sebuah akar masalah. Dan agar masalah itu tidak menyebar dan semakin mematikan bangs aini, maka sudah selayaknya pemikiran tersebut dibuang sejauh-jauhnya. Lalu menggantinya dengan sistem ilahiah agar manusia dan alam bisa hidup bahagia.
."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H