Berkaitan dengan hal ini, proses verifikasi dengan Kementarian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dalam mengawasi pergerakan buku yang ada dapat menjadi langkah preventif dalam mengawasi pergerakan buku-buku tersebut. Tidak hanya itu, fungsi penindakan dapat dilakukan melalui kerjasama dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Tentara Negara Indonesia (TNI), agar pihak penyebar dan penulis buku-buku tersebut dapat ditindaklanjuti lebih lanjut.
Kedua, komunikasi intensif dan pelatihan-pelatihan dengan penerbit-penerbit buku dalam menyaring buku-buku yang berkaitan dengan unsur radikalisme perlu dicantumkan secara spesifik sebagai program Dewan Perbukuan Nasional. Hal tersebut signifikan, agar standar-standar yang jelas terkait buku-buku yang layak beredar dapat ditentukan sesegera mungkin, demi mencegah potensi multitafsir terhadap standar penerbitan buku diantara kalangan masyarakat.
Dibanding Revisi UU Terorisme yang memiliki potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan terkesan terburu-buru, revisi UU Sisbuk yang relevan dengan perkembangan jaman lebih dibutuhkan sebagai salah satu solusi yang berjangka panjang. Proses pembahasan dengan mengundang para pakar-pakar yang ahli dalam e-book akan menjadikan RUU Sisbuk sebagai senjata sakti pemerintah dalam mencabut benih-benih terorisme hingga ke akar-akarnya.
Tidak hanya itu, keberhasilan Indonesia  dalam mempersiapkan upaya preventif melalui RUU Sisbuk dapat meningkatkan citra Indonesia di mata internasional. Oleh karena itu, pengawasan oleh masyrakat dan pemerintah terhadap RUU Sistem Perbukuan sangat penting untuk dilakukan terus-menerus, agar kasus terorisme dan radikalisme tidak kembali terjadi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H