Hilangnya kesadaran merupakan titik temunya. Baik mahasiswa dan beberapa dosen, tidak bisa meraih apa yang harusnya akademisi miliki, yakni keilmuan. Keilmuan telah mati dan itu semua dibungkam dengan apa yang mahasiswa inginkan, yakni nilai A. Kasus-kasus seperti ini merupakan hal biasa dan tidak ada seorangpun yang berusaha mendobraknya, sampai saya menulis artikel ini. Mahasiswa di momen-momen tertentu menunjukkan resistensinya terhadap dosen yang tidak memenuhi kapabilitas, baik dari segi absensi ataupun pengajaran yang melenceng jauh. Namun, kembali kepada kebutuhan si mahasiswa dari sisi akademis, yakni nilai A. Ketika mahasiswa telah meraih nilai A, maka hilanglah sifat resistensi itu. Sebuah momentum yang merusak keilmuan dengan cara-cara feodal. Dari sisi mahasiswa sendiri tidak memiliki kesadaran untuk membaca ataupun mencari tahu secara mandiri soal materi kuliah, sehingga kesadaran menjadi kata kunci bagi permasalahan ini. Dan itu semua kembali pada karakteristik bangsa ini di masa lalu, yakni feodalisme. Secara tidak langsung, kita melakukan penghambaan terhadap nilai dan dosen.
Dari dua karakteristik ini, muncul satu pertanyaan "Mau sampai kapan kita terbelakang, sementara kita selalu berbicara soal konsep negara maju?". Lagi-lagi nasionalisme mengintervensi permasalahan ini. Konsep soal legitimasi nasionalisme mungkin akan dibahas di lain waktu. Â Â
Meraih Renaisans: Mustahil atau Mungkin?
Apa yang kemudian menyebabkan karakteristik kita seperti ini? Karakteristik yang kental dengan abad pertengahannya. Mari kita ulas balik soal konsep renaisans di Eropa. Gerakan ini merupakan proses transisi pemikiran dan gaya hidup masyarakat Eropa yang feodal kembali kepada aliran Yunani dan Romawi. Kita perlu memahami karakteristik orang Eropa semasa kejayaan Yunani dan Romawi yang mengutamakan rasio dibanding moral. Pada saat itu, ilmu pengetahuan telah meraih kejayaannya. Filsuf-filsuf besar lahir dan berkembang di Athena dan di sisi lain, Romawi dengan Imperiumnya berhasil menguasai hampir seluruh Eropa dan kawasan Mediterania. Dua aspek ini yang kemudian diterapkan oleh orang-orang penggagas renaisans seperti Medici. Dan atas hal itu, perlahan namun pasti, Eropa sukses meninggalkan gaya hidup feodal dan dominasi agamanya di masa lalu, kembali pada rasionalisme serta ilmu pengetahuan. Hal ini yang membuat mereka sukses menjadi bangsa yang superior di mata kita sebagai bangsa yang terjajah olehnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Mampukah kita meraih renaisans dengan cara kita sendiri? Dulu saya pernah berpikir bahwa renaisans di Indonesia perlu menunggu ratusan tahun, namun hal tersebut terbantahkan ketika saya menghadiri kuliah Filsafat Sejarah dan Pemikiran Modern. Kala itu, dosen menyebut bahwa kultur asli bangsa Asia adalah moralitas, berbeda dengan Eropa yang mengutamakan rasio. Sehingga saya kembali memikirkan soal esensi renaisans yang merupakan gerakan untuk kembali kepada masa kejayaan bangsa Eropa, yakni Yunani dan Romawi. Sementara apa yang harus kita kembalikan dari kejayaan kita di masa lalu? Bukankah budaya kita sejak Nusantara sudah feodal? Pada titik ini saya sadar bahwa kita tidak akan bisa meraih renaisans. Jika kita memaksakan untuk meraih reinaisans, maka sifatnya akan kembali pada ide-ide konservatif nasionalis yang ekstrem sehingga terkesan fasistik seperti apa yang PFI (Partij Fascist Indonesia) impikan dulu, kembali pada kejayaan Majapahit.
Meski begitu, ada harapan besar bagi saya sendiri untuk membangun masyarakat yang terbebas dari feodalisme. Mungkin ini hanya idealisme semata, namun manusia visioner perlu idealisme sebagai penyokongnya. Dari data sejarah dan analisa kedepannya, meraih renaisans adalah mustahil dengan karakteristik kita yang sudah abad pertengahan sedari awal. Menghasilkan 100 atau 200 Copernicus dan Galileo-pun tidak menjamin kita untuk berpikir rasional dan meninggalkan segala kesuraman. Justru presekusi dan hukum sosial yang menantinya. Namun, begitulah karakteristik kita yang menolak budaya barat dan bangga dengan ketimurannya meski bodoh. Saya sendiri bukan penghamba barat. Saya bangga menjadi orang timur. Namun saya mengikuti ucapan Tan Malaka yang menyebut bahwa "Belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas".[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H