Apa yang terlintas di kepala anda jika mendengar kalimat "Abad Pertengahan"? Dominasi agama? Feodalisme? Masa-masa suram? Kiranya aspek-aspek tersebut memanglah benar jika kita melihat karakteristik abad pertengahan dalam sejarah Eropa. Ilmu pengetahuan mengalami kemandegan akibat kekangan agama yang mendominasi cara berpikir dan gaya hidup masyarakat. Feodalisme menjadi budaya yang abadi bagi raja dan rakyatnya. Oleh karena itu, abad pertengahan juga sering disebut "The Dark Ages" atau "Abad Kegelapan".
Titik balik dari berakhirnya abad pertengahan bisa dilihat dari kebangkitan gerakan renaisans di Italia pada sekitaran abad ke-15. Munculnya tokoh-tokoh seperti Leonardo Da Vinci dan Niccolo Machiavelli menandakan lahirnya pemikiran-pemikiran romantik, humanis, serta ide-ide keduniawian. Puncak dari renaisans adalah enlightenment atau pencerahan, di mana manusia sudah tidak berfokus dalam pengejaran terhadap akhirat. Pada titik ini, manusia Eropa telah meraih kesadarannya sendiri bahwa kehidupan yang mereka alami tidak berlangsung di afterlife, melainkan di dunia. Tercapainya pencerahan juga beriringan dengan masuknya ide-ide rasionalisme dari pemikir-pemikir Eropa yang secara tidak langsung membunuh dogma skolatisisme Gereja Katolik Roma.
Apa kaitannya narasi di atas dengan kondisi di Indonesia hari ini? Tentunya belajar sejarah berarti juga berpikir untuk hari ini dan masa depan. Dari abad pertengahan, saya memandang adanya unsur kemiripan yang serupa terjadi di Indonesia. Bukan di Indonesia pada abad pertengahan yang masih berstatus sebagai Nusantara dengan pelbagai kerajaan-kerajaannya, melainkan Indonesia di hari ini, di tahun 2024, di mana seharusnya manusia bisa meraih rasio atau akal dibanding kepercayaan moral tak berdasar. Namun, karakteristik kita tidak seperti itu, baik dalam sejarah, hari ini, maupun 100 tahun yang akan datang.
Karakteristik Kita
Pernyataan yang saya beri di judul artikel mungkin merupakan sebuah penolakan bagi masyarakat. Begitu juga dengan apa yang akan saya sampaikan setelah ini. Ketika saya menyebut bahwa Indonesia hari ini adalah Eropa abad pertengahan, maka saya memahami betul apa yang membangun masyarakat Indonesia hingga bisa dikategorikan seperti itu.Â
Berdasarkan empirisme, saya memandang bahwa rakyat Indonesia di hari ini masih bersifat feodal dengan sifat supremasi terhadap agama, khususnya mayoritas. Lahirnya partai-partai politik Islam sebenarnya merupakan salah satu contohnya bahwa agama kini dengan mudah dipolitisasi. Begitu juga dengan kandidat legislatif hingga eksekutif yang beberapa menggunakan Islam sebagai alat kampanye. Partai politik merupakan cerminan atas identitas masyarakat yang memilihnya. Alih-alih demokrasi liberal, masyarakat kita justru masih terkekang oleh dogma yang berlindung di balik kata agama.
Saya adalah manusia yang beragama. Saya menjalani kewajibannya meski saya tidak mau dipandang sebagai seorang agamis. Namun saya pikir, kehidupan yang perlu kita jalani tidak hanya berlatar di akhirat nanti. Akhirat adalah target namun saat ini kita hidup di dunia. Hubunganmu dengan tuhan adalah masalah individu, tapi hubunganmu dengan orang lain beserta dunia adalah masalah sosial. Manusia tidak bisa selalu berfokus pada akhirat karena ada dunia beserta lingkungan sosial yang ia alami secara nyata. Sementara masyarakat Indonesia adalah tipe masyarakat yang inkonsistensi dan haus akan identitas. Mereka selalu ingin dianggap agamis. Karenanya mereka menunjukkan bahwa diri mereka adalah pribadi yang soleh. Namun, hal itu kerap menjadi boomerang dan ironi. Karena yang mereka inginkan adalah validasi bahwa agama merupakan identitasnya sebagai manusia. Atas faktor ini juga, agama kemudian menjadi hal yang superior diatas ilmu pengetahuan manapun. Sehingga orang yang berpengetahuan luas lebih sering didiskreditkan dibanding orang yang rajin beribadah namun bodoh. Aspek ini merupakan salah satu karakteristik bangsa Indonesia.
Hal ini juga turut berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia akademisi di Indonesia. Memang, anak-anak bangsa diperbolehkan untuk menuntut ilmu setinggi mungkin, akan tetapi, bisakah ilmunya itu diterapkan dengan baik di masyarakat? Saya kira tidak sepenuhnya, karena masyarakat memiliki sudut pandang lain yang lebih bersifat moralitas. Contohnya adalah saya pribadi. Saya seorang mahasiswa Ilmu Sejarah, namun belum tentu saya bisa mengajarkan kepada masyarakat bahwa apa yang saya pelajari soal sejarah merupakan sebuah perdebatan dan tidak bisa dikatakan bahwa sejarah memiliki satu narasi pasti. Hal ini boleh jadi akan ditentang dikarenakan pengetahuan sejarah mereka berbasis pada dua hal; empirisme dan faktor eksternal yang menuliskan sejarah dengan satu narasi, yakni pemerintah. Ditambah dengan karakteristik yang masih didominasi faktor agamis sehingga sejarah seakan harus bergerak ala Islamsentris.
Faktor lainnya adalah feodalisme. Hal ini justru saya katakan telah menjadi budaya tetap bagi bangsa Indonesia. Di Eropa sendiri, feodalisme telah runtuh dan puncaknya adalah revolusi Prancis 1789, di mana kekuatan rakyat berhasil memenggal kepala sang raja. Lahirnya konsep kebebasan, persaudaraan, dan persamaan merupakan produk terbaik dari revolusi Prancis yang menginspirasi seluruh dunia. Poin ketiga merupakan pembahasan yang masih berkaitan pada feodalisme. Saya rasa persamaan derajat tidak bisa diraih apabila kultur kita masih bersifat menghamba. Kata menghamba dapat disematkan kepada siapapun baik itu atasan dan dosen jika di lingkup universitas. Dan lagi, sebagai seorang mahasiswa, saya akan menghubungkannya dengan apa yang terjadi di kampus saya saat ini.