Pengaruh ini juga turut menjadi ajang rasialisme. Hingga kini, masalah ras masih jadi bahan lelucon yang rasis di kalangan pemuda Indonesia. Memiliki kulit hitam atau memiliki mata sipit sedikit, langsung diledek. Â Serasa bahwa unsur penjajahan soal kasta itu masih diterapkan secara tidak langsung. Kita juga melihat bahwa kulit putih bersih menjadi bentuk ideal yang identik dengan keindahan. Sehingga orang-orang pun kian berlomba untuk memutihkan dirinya agar terlihat indah. Hal ini tidak akan terjadi sesungguhnya apabila orang Afrika yang justru melakukan kolonialisasi ke penjuru dunia. Mungkin kita akan bersyukur dengan kulit hitam atau coklat yang kita miliki.
Kiranya aspek tersebut menjadi contoh bahwa pikiran kita sejatinya belum merdeka. Kita barulah merdeka jika kita bisa melupakan tradisi kolonial itu. Kita selalu mengatakan bahwa kita adalah bangsa yang nasionalis, namun ironi menunjukkan bahwa kita masih menghamba pada Eropa. Memang bahwa sejarah menyatakan bahwa Eropa sukses menjadi pusat peradaban dunia. Kita sebagai orang timur layak belajar dari mereka demi tujuan kita sendiri. Jangan sampai budaya barat mereka masih bertahan hingga hari ini. Cukup ambil ilmu mereka tapi tidak dengan habit dan karakteristiknya. Karena menjadi sejarawan itu berarti menganalisa masa lampau dengan relevansinya masa kini, bukan justru melakukan kesalahan di masa lalu. Ibarat orang terjungkal di jalan berlubang dan masih melewati jalan berlubang itu. Tidak ada pembelajaran darinya. Maka banggalah menjadi Indonesia jika memang kita semua nasionalis. Jika tidak, maka tak heran bahwa kita masih terjajah secara pikiran.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H