Gibran terlalu muda untuk memimpin bangsa ini? Argumen ini sebenarnya merujuk bukan pada skeptisme terhadap pemimpin muda. Pemimpin muda jelas boleh masuk kedalam konstitusi dan di beberapa negara maju di dunia, pemimpin dengan usia 35 bahkan dibawahnya telah sukses memimpin negaranya. Contohnya saja Daniel Noboa yang memenangkan lebih dari 97% suara dalam pilpres Ekuador di umur 35 tahun. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa pemimpin negara tidak selalu dipegang oleh golongan tua, bahkan golongan muda juga bisa membuktikan dirinya sebagai generasi baru yang lebih memahami perkembangan zaman.
Lantas apa yang kemudian kita khawatirkan pada Gibran? Dunia telah menunjukkan bahwa kaum muda bisa mengontrol satu negara, namun mengapa kita ragu terhadapnya? Bahkan contoh terdekatnya adalah karir politik Sukarno, presiden pertama Indonesia. Sejak tinggal di kos Tjokroaminoto di Surabaya pada umur 15 tahun, Sukarno telah belajar dasar-dasar ilmu politik mulai dari ideologi sampai manifestasinya. Matangnya pemikiran politik Sukarno ada di tahun 1926-1927, ketika Sang Putra Fajar berumur 26 tahun dan menerbitkan artikel berjudul “Nasionalisme-Islamisme-Marxisme” bersama teman-teman studi klubnya. Di tahun yang sama, Sukarno turut mendirikan PNI sebagai organ perjuangan melawan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Terdapat proses yang panjang bagi Sukarno hingga dirinya bisa mencapai status Presiden dan pemimpin besar revolusi Indonesia.
Proses menjadi kata kunci dalam kasus ini. Kaum muda bisa saja maju kedalam kontes pemilu namun harus ada track record yang jelas dibaliknya, harus ada proses disitu. Tidak mungkin kita memilih orang yang tidak memiliki rekam jejak politik sama sekali. Jelas itu menimbulkan perasaan skeptis karena pengabdiannya bagi konstitusi dan rakyat patut dipertanyakan. Gibran memiliki rekam jejak sebagai Walikota Solo selama 2 tahun alias belum menyelesaikan masa pemerintahannya. Lantas, mengapa kita masih mau memilih orang yang secara rekam jejak belum bernilai besar? Kembali mengingatkan bahwa anak muda bisa saja ikut kontes pemilu, namun jangan langkahi proses. Adolf Hitler pernah menyebut dalam bukunya yang berjudul Mein Kampf, bahwa usia paling matang bagi seseorang untuk berpolitik dan masuk kedalam konstitusi adalah usia 30 tahun. Pemikiran di bawah umur 30 tahun dinilai Hitler belum matang dan berpotensi menyebabkan keruntuhan. Pemikiran bisa ditempuh melalui proses matang dan jejak politik yang bertahap. Bukan bagi ia yang belum menyelesaikan tugasnya namun sudah berambisi di kancah nasional. Bukan juga bagi ia yang tidak ada jejak politik namun bisa menjadi ketua partai dalam 2 hari. Jelas ada kekeliruan yang menimbulkan pada perpecahan.
Api Perpecahan dalam Partai Penguasa
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat faksionalisme didalam tubuh internal PDIP sebagai partai penguasa. Lantaran hal tersebut dipacu atas aksi keberpihakan Jokowi yang lagi-lagi patut dipertanyakan. Sebelumnya, Jokowi kerap memberikan dukungannya terhadap Ganjar Pranowo sebagai capres dari kubu PDIP, namun kini ia juga turut memberikan dukungannya terhadap Prabowo. Yang jelas, Jokowi tidak mungkin mendukung Anies Baswedan yang secara visi misi bercita-cita melakukan perubahan atas pemerintahan Jokowi. Jelas Presiden akan memilih paslon yang secara visi misi bertujuan untuk meneruskan kerjanya, dan itu terlihat di Prabowo dan Ganjar. Dalam satu kesempatan, Jokowi menyatakan akan mendukung siapa saja demi kebaikan Indonesia. Namun benarkah demikian?
Masuknya Gibran di kancah pilpres kembali menjadi titik perpecahan dalam tubuh PDIP. Jokowi yang melihat anaknya maju sebagai cawapres jelas akan memberikan dukungannya dan ini yang kemudian membuat PDIP terpecah menjadi dua faksi yakni faksi Megawati dan faksi Jokowi. Faksi Megawati akan sepenuhnya memberi dukungan bagi pasangan Ganjar-Mahfud, dan faksi Jokowi kepada Prabowo-Gibran. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan relawan Projo (Pro Jokowi) yang secara resmi memberikan dukungannya kepada Prabowo. Selain itu PSI yang awalnya memberi dukungan terhadap Ganjar, kini berpaling kepada Prabowo terlebih ketua umum partai anak muda itu adalah Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi dan adik Gibran.
Naiknya Kaesang sebagai ketum PSI juga menjadi tanda tanya. Lantaran Kaesang baru masuk ke PSI sekitar 2 hari dan langsung menjadi ketua umum tanpa jejak politk yang meyakinkan. Presiden Jokowi lagi-lagi menjadi sosok yang ditengok atas kasus ini. Rumor bahwa Jokowi pemilik asli PSI yang dibuat demi menyaingi PDIP telah tersebar luas. Perlu diingat pula bahwa PSI adalah satu-satunya partai yang sangat Jokowisentris terlihat bagaimana partai ini menggunakan nama Jokowi sebagai ideologi yakni Jokowisme. Dengan beberapa Analisa itu, rasanya tidak mungkin Jokowi akan netral di Pilpres 2024.
Ambisi politik dinasti Jokowi ini kemudian memecah PDIP dan membuat banyak kader partai merasa terkhianati terutama Megawati. Mantan Presiden Kelima Indonesia itu telah mengorbankan banyak hal dan memberikan akses bagi karir politik Jokowi mulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI, hingga ke Presiden Indonesia. Jika memang PDIP melakukan dinasti politik nasional, maka seharusnya Megawati mencalonkan Puan Maharani. Tapi Megawati melihat realitas dan sadar bahwa anaknya itu belum cukup mapan dalam memimpin. Berbeda dengan Jokowi yang menyetujui dan mendukung Gibran meskipun ia belum memiliki track record politik yang cukup.