Medan Prijaji menjadi alat pergerakan pembela rakyat yang tertindas oleh kolonial. Menurut Tirto, koran menjadi alat untuk menyebarkan pergerakan nasional terhadap masyarakat karena itu juga Medan Prijaji berbahasa Melayu agar bisa diakses oleh banyak orang terutama pribumi sebagai mayoritas juga target pasar.
Tirto turut menjadi jurnalis untuk Medan Prijaji. Ia sendiri yang mencari berita ke penjuru Jawa. Dari perupayaan ini, Tirto bisa mengenal bangsanya lebih baik lagi berkat aksi observasi turun ke lapangannya. Tirto bisa melihat berbagai bentuk penyelewengan yang dilakukan kolonial terhadap rakyat kecil sehingga kejadian-kejadian ini bisa Tirto gunakan sebagai bahan berita untuk kembali mengkritisi pemerintahan kolonial.
Karena aksi-aksinya yang terus menyerang pemerintah, Tirto Adhi Soerjo kemudian dibawa ke pengadilan pada tahun 1907. Kala itu Tirto mengkritisi terkait penyalahgunaan jabatan dan korupsi di Hindia Belanda sehingga membuat dirinya harus menerima hukuman pembuangan ke Lampung selama 3 bulan.
Selain pers, Tirto merupakan orang yang percaya bahwa memupuk rasa kebangsaan bisa dilakukan dengan sarana organisasi modern. Karenanya ia mendirikan Sarekat Prijaji pada tahun 1908 yang berfokus pada kegiatan perdagangan. Selain itu, Tirto juga turut bergabung pada Boedi Oetomo yang pada awal paragraf sempat penulis singgung. Namun Tirto memutuskan untuk meninggalkan kedua organisasi itu karena dirasa terlalu elitis.
Tirto kemudian mendirikan lagi organisasi pergerakan bernama Sarekat Dagang Islamiyah pada 5 April 1909. Fokus tujuannya adalah menghimpun saudagar pribumi untuk bersaing dengan saudagar asing. Dari SDI ini, Tirto kemudian bertemu Haji Samanhoedi di Surakarta yang nantinya disebut sebagai pendiri dari SDI. Padahal secara historis, Tirto lah yang pertama kali mendirikan organisasi dagang Islam ini. Pengaruh SDI kemudian semakin melebar terlebih ketika berubah nama menjadi Sarekat Islam dengan H.O.S Tjokroaminoto sebagai pemimpin barunya.
Tirto Adhi Soerjo wafat pada 7 Desember 1918 di umurnya yang ke-38. Sebelum wafat, Tirto sempat diasingkan ke Ambon selama 2 tahun dan selama itu karya-karya Tirto kerap di rumah kaca-kan oleh pemerintah sehingga banyak orang yang takut terhadap kehadirannya bahkan teman dekatnya sekalipun. Tirto lalu wafat dikarenakan penyakit yang ia derita selama beberapa tahun terakhir menjelang kepulangannya dan jenazahnya dimakamkan di Mangga Dua tanpa banyak yang menyaksikan.
Atas jasa-jasanya, Tirto lalu dianugerahkan gelar Bapak Pers Nasional pada tahun 1973 oleh pemerintahan republik Indonesia dan gelar pahlawan nasional pada tahun 2006.
Tirto dapat kita maknai sebagai seorang perintis. Ia berani memulai tanpa tahu akhirnya seperti apa, yang penting ia bisa membela bangsanya. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia bahkan mengapresiasi Tirto dalam karya besarnya Tetralogi Buru sebagai tokoh bernama Minke dan “Sang Pemula”, buku semi otobiografi dari Tirto Adhi Soerjo. Bagaimana kisah Tirto ini bisa dimaknai dalam memupuk rasa nasionalisme? Pikirkan dalam diri anda pribadi.[]
Abrar Rizq Ramadhan
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang.