Mohon tunggu...
Djoko Susilo
Djoko Susilo Mohon Tunggu... -

mencoba untuk berbagi pemikiran dan cerita, untuk selengkapnya bisa kunjungi blog saya http://www.thedjokosusilo.org

Selanjutnya

Tutup

Politik

WEF di Davos dan Neo Liberalisme

27 Januari 2014   17:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:24 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tahun, pada akhir Januari, Davos kota kecil di pegunungan Alpen, Switzerland Sibuk luar biasa. Puluhan ribu orang dari berbagai penjuru dunia hadir untuk acara tiga hari: World Economic Forum annual meeting. Tahun ini digelar dari  tanggal 23 Januari sampai 25 Januari. Dari Indonesia, sejumlah menteri, pengusaha, pejabat BKPM dan lain-lain orang penting ikut hadir.

Sudah hampir empat tahun saya bertugas di Swiss, dan karena saya adalah duta besar RI, hampir setiap tahun saya juga ke Davos, umumnya untuk menghadiri "Indonesia NIght" yakni sebuah acara promosi yang biasanya dilakukan dengan sponsor BKPM atau Kemendag. Meski sebagai duta besar, saya tidak ikut-ikutan menghadiri pertemuan WEF yang bagi banyak ekonom kritis dunia dijuluki sebagai "embahnya" kapitalisme dan liberalisme. Bahkan, saya dan teman-teman duta besar dari negara lain umumnya juga tidak bisa tinggal di hotel sekitar Davos, karena tarifnya terlampau mahal.

Memang, acara WEF ini hanya bisa dihadiri oleh orang super kaya, perusahaan besar atau pejabat tinggi negara. Bayangkan, satu malam hotel yang dalam hari-hari biasa bertarif sekitar 250 US, dalam masa WEF ini bisa jadi 3000 US. Bahkan kamar apartemen pun yang normalnya sekitar 1500 US per bulan untuk dua kamar, harus kita sewa sampai 15 000 US untuk satu minggu. ongkos transport dan makanan juga naik dari kondisi normal. Pendek kata, jika belum jadi orang super kaya seperti Bill Gates, Warren Buffet atau minimal masuk daftar orang terkaya di tingkat nasional, sebaiknya mikir dua kali sebelum datang ke Davos.

Davos, dulu saya kenal sebagai merk permint pelega tenggorokan waktu saya masih di kampung Boyolali. Namun Davos yang saya kunjungi tiap tahun ini adalah kota kecil yang mendadak menjadi ramai karena banyaknya orang penting yang hadir. Perhelatan ini bukan kegiatan resmi negara Switzerland, tapi hasil karya yayasan WEF yang digagas Prof. Klaus Schwab, mantan guru besar di Universitas Geneva. Tidak jelas bagaimana mulanya, tetapi sekarang ini orang merasa bangga kalau diundang untuk hadir di WEF. Bagi saya ini pinter2nya, Klaus Schwab merayu para tokoh itu agar hadir di forumnya sehingga WEF menjadi penting karena dihadiri orang-orang penting dari seluruh dunia.

Dari pengamatan saya, WEF itu menjadi penting untuk ajang promosi dan networking. Oleh karenanya, sekalipun berbeaya mahal, pemerintah Indonesia tiap tahun Menggelar acara Indonesian Night. Sedang untuk materi diskusi atau ceramahnya seringkali tidak membumi dengan persoalan dunia. Betapapun WEF bukan forum WTO atau PBB, tetapi para pentolan pendukung liberalisasi perdagangan dunia selalu hadir dalam pertemuan WEF. Oleh karenanya, penjagaan menuju Davos sangat ketat, khususnya untuk kendaraan non diplomatik.

Hampir setiap tahun ketika acara WEF digelar, selalumada gerakan demonstrasi Para penentang liberalisasi ekonomi. Bahkan beberapa tahun lalu, mereka sempat menyerang dan merusak kedai McDonalds di Davos yang dianggap sebagai lambang kapitalisme dunia. Akibatnya sampai sekarang tidak ada restoran fast food di Davos, bahkan di seluruh Swiss jumlahnya sangat terbatas. Warga Swiss lebih suka makan makanan sehat, bukan terbujuk iklan kedai cepat saji ala Amerika.

Dalam berbagai pertemuan WEF, arah diskusi secara umm ditujukan untuk
perbaikan ekonomi dunia. Tetapi ibarat dokter, resep WEF ini mengambil prinsip kalangan neo liberal, antara lain perdagangan bebas, privatisasi perusahaan negara, small government, kurangi subsidi, dan sebagainya. Resep ini memang manjur untuk memakmurkan negara-negara kaya, tetapi belum tentu cocok bagi negara-negara berkembang.

Ha joon-chang, ekonom Cambridge University kelahiran Korea Selatan  menulis bahwa semua resep itu sebagai racun dan sesat pikir yang mmbahayakan. Dari studinya, Negara-negara yang sekarang ini merupakan kampiun liberalisasi perdagangan, di masa lalu terkenal proteksionis dan anti perdagangan yang fair. Mereka memaksakan prinsipnya ini karena sudah telanjur diuntungkan dengan sistem yang ada.

Contoh yang jelas, Inggris pernah menyerang China dalam perang candu karena tidak mampu berdagang secara fair. Awalnya, karena rakyat Inggris tergila gila dengan teh China, maka mereka banyak mengimpor teh dari China, akibatnya Neraca pembayaran Inggris mengalami defisit sementara saat itu tidak ada komoditi Inggris yang layak dijual ke pasar China. Akhirnya mereka menemukan candu yang ditanam di daerah jajahannya di India dan di export ke China. Padahal candu merupakan barang haram di China. Akibatnya Inggris marah. Penolakan perdagangan Candu ini yang jadi alasan Inggris menyerang China. Bayangkan kalau saat ini ada negara yang berani mengekspor heroin secara resmi ke amerika atau eropa?

Nenek moyang kita di kepulauan nusantara pun sudah menalami kejamnya
perdagangan yang tidak fair dengan Eropa, baik dengan bangsa Portugis maupun Belanda. Pada abad XVII di kepulauan Maluku dikenal pelayaran Hongi, yakni Pelayaran patroli kapal kumpeni VOC yang akan menebang atau membakar perkebunan pala dan cengkeh milik rakyat yang ditanam tanpa izin kumpeni. Mereka juga merampas rempah2 rakyat agar hanya dijual ke VOC. Pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan VOC melanjutkan kebijaksanaan kejam dan Eksploitatif ini dalam bentuk politik "Tanam Paksa".

Saking kejamnya politik tanam,paksa ini menginspirasi seorang asisten residen Atau camat Lebak di Banten, Eduard Douwes Dekker yang memakai nama Samaran Multatuli menulis novel Max Havelaar. Novel ini menceriterakan tentang Sistem Tanam Paksa yang menyengsarakan rakyat. novel ini menginspirasi Gerakan "fair trade" Max Havelaar yang sangat berpengaruh di Eropa. Novel ini jadi bacaan wajib anak-anak SMP/SMA di Belanda. Bahkan waktu ada pameran bisnis yang digelar Kedubes Belanda di Bern beberapa waktu lalu, Novel Max Havelaar ikut dipamerkan dan dengan mengutip pendapat Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai "novel yang mengubah dunia". Sayang Kemendiknas Tidak menjadikan novel tersebut sebagai bacaan wajib para pelajar kita. Bahkan Di zaman Orde Baru, film Saijah dan Adinda yang diangkat dari novel Max Havelaar dilarang beredar.

Dalam sejarah Inggris, negara ini menjadi kuat dan mempelopori revolusi industri Dengan kebijaksanaan yang mula2 diterapkan raja Henry VII padababad XV yang melarang ekspor wool mentah. Saat itu Inggris hanya menjual hasil wool yang belum diproses. Akibatnya keuntungan dinikmati oleh infustriawan di Belanda, Belgia dan Venesia yang bisa memproses wool itu untuk menjadi produk pakaian yang lebih bernilai. Hampir seratus tahun lamanya larangan itu dijalankan sampai
inggris mampu mengejar ketertinggalan teknologi pemrosesan wool. Walhasil kebijakan Raja Henry VII yang mula-mula banyak ditentang itu akhirnya menjadi basis Inggris sebagai kekuatan ekonomi dunia bahkan sempat menjadi Penguasa dunia dengan semboyan "British Rules the Waves".

Memang, kalau kita mau berkaca dari sejarah, sebaiknya kita tidak ikut arus sesat pikir ekonom liberal. Kita harus berpijak pada kepentingan nasional. Stop ekspor bahan mentah baik mineral atau tambang. Sangat benar pernyataan Dahlan Iskan belum Ini yang mengatkan ingin melarang ekspor batubara selama 100 tahun. Juga mestinya Pemerintah tidak ragu-ragu melarang ekspor bahan mentah barang tambang seperti Diamanatkan UU Minerba 2009. Selain mengamankan bahan mentah,Indonesia harus Tingkatkan produksi secara efisien.Berikan subsidi untuk sektor yang produktif dan kurangi impor barang konsumtif. Tidak masuk akal kita mengekspor batubara ke Tiongkok dan India yang cadangan batu baranya lebih besar dari Indonesia. Dulu kita bangga sebagai negara pengekspor minyak, tapi sekarang setiap bulan kita menghabiskan devisa sekitar 3,5 milliar dolar untuk beli minyak dan gas. Jangan lupa bahwa selain memiliki minyak, Indonesia juga kaya akan gas. Sayang sekali gas kita pun dijual teramat Murah ke Tiongkok untuk waktu 25 tahun atau lebih. Masyarakat pun sudah lupa dengan pemerintah yang memutuskan menjual aset - aset negara dengan sangat Murah tersebut.

Majalah Foreign Affairs terbaru January 2014 memuat artikel yang membandingkan Indonesia dengan Filipina. Keduanyan disebut sebagai negara ASEAN yan mampu lepas dari krisis ekonomi dunia 2008 dengan baik, tetapi ke depannya Filipina akan jauh lebih baik karena presiden Benigno Aquino III berani mengambil langkah rasional. Di satu posisi memberikan proteksi dalam negeri tapi dilain pihak merealokasi subsidi secara lebih tepat sasaran.

Dalam musim kampanye baik pileg atau pilpres, kita tanyakan komitmen para Caleg atau Capres kita. Sayangnya kita tidak punya banyak pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun