Mohon tunggu...
Djoko Susilo
Djoko Susilo Mohon Tunggu... -

mencoba untuk berbagi pemikiran dan cerita, untuk selengkapnya bisa kunjungi blog saya http://www.thedjokosusilo.org

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasionalisme Yang Membela Petani

21 Mei 2011   07:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:24 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mari kita tengok kondisi daerah penghasil susu di Indonesia. Daerah kelahiran saya, kabupaten Boyolali dikenal sebagai kota susu. Saking bangganya dengan sapi perah, di pintu gerbang memasuki kota Boyolali dipajang patung sapi perah. Begitu juga di daerah mertua saya, kabupaten Pasuruan, dikenal sebagai daerah penghasil susu terbesar di Jawa Timur. Bahkan Nestle, perusahaan Swiss, memiliki pabrik pengolahan susu terbesar di Indonesia di Kejayan dengan kapasitas produksi bisa mencapai 1,4 juta liter per hari. Sebagian dari susu yang diproses Nestle itu masih diimpor, karena susu local kualitasnya masih kurang memadai. Itulah sebabnya saya mendorong Nestle mengadakan workshop peningkatan kualitas mutu susu sapi di Jawa Timur.

‘’Baik Kami bersedia, asal ada dukungan dari pemerintah ‘’ kata Mr.Van Dyk, wakil presiden  Nestle, ketika saya temui awal Januari lalu.

KBRI Bern pun segera kontak Gubernur Soekarwo, dan sambutan positif pemprop Jatim yang memungkinkan akan digelarnya workshop peningkatan produksi mutu susu sapi di Sirabaya dalam waktu yang tidak lama lagi. Diharapkan semua stakeholders akan berperan aktif dalam program tersebut dengan tujuan utama meningkatkan kualitas susu peternak di Jatim..

Tapi workshop atau apapun kegiatan sejenis tidak akan mampu menyejahterakan peternak dan petani, jika pemerintah dan masyarakat tidak ikut mendukungnya. Saya tahu, meski daerah asal saya dan juga kabupaten mertua saya sama – sama penghasil susu, konsumsi local sangat rendah. Selama saya sekolah di Boyolali dari SD sampai SMA, begitu juga selama anak-anak saya sekolah selama beberapa tahun di SD Muhammadiyah Pandaan, tidak pernah ada gerakan minum susu. Hal yang paling simple saja, yakni mengimbau anak-anak pelajar  agar minum susu hasil petani setempat dan bukan mengkonsumsi soft drink bikinan Amerika, tidak pernah dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan dinas pendidikannya. Beberapa kali saya bertamu ke pendopo baik kabupaten Boyolali maupun ke kabupaten Pasuruan, tidak sekalipun kami disuguhi minuman susu segar hasil peternak setempat. Memang aneh, kita bisa beli minuman berkarbonasi yang seliternya bisa mencapai Rp.5.500, - tetapi enggan membeli susu yang harganya perliternya lebih murah. Juga ironi sekali, banyak orang, termasuk keluarga miskin, sehari bisa menghabiskan sebungkus rokok tetapi tidak mau membeli susu yang menyehatkan.

Di tingkat nasional, beberapa tahun yang lalu, pemerintah pusat pernah menghapuskan bea masuk untuk susu import yang berakibat banyak peternak susu sapi kelimpungan karena tidak bisa bersaing dengan susu impor dari New Zealand dan Australia. Memang produksi susu per sapi di Indonesia masih rendah. Jika seekor sapi bisa menghasilkan 12 – 13 liter per hari saja sudah bagus. Bandingkan dengan sapi di Swiss yang rata – rata menghasilkan 25 liter perhari. Lebih payah lagi, petani kita  ada yang curang, misalnya mencampur susu dengan santan atau air, yang tentu saja merusak kualitas.

Karena kesadaran ingin hidup sehat dan memakmurkan bangsa yang tinggi, maka minum susu dan makanan sehat sudah diajarkan sejak anak – anak masih duduk di SD.  Meski Swiss juga pusat industri rokok yakni Phillip Morris International yang memiliki PT Sampoerna dan British American Tobacco yang mempunyai PT Bentoel, tetapi untuk produk yang ini mereka mkonsumsinya sangat rendah. Karena warga Swiss tahu persis bahayanya merokok bagi kesehatan.

Untuk makanan, selain mereka banyak mengkonsumsi sayuran dan buah hasil petani sendiri,  makanan cepat saji ala Amerika   semacam KFC, Pizza Hut’s dan sebagainya tidak laku. Kami orang Indonesia jika kangen KFC harus ke Mullhouse di wilayah Prancis yang jauhnya sekitar 2,5 jam perjalanan naik mobil dari Bern. KFC tidak laku di Swiss. Begitu juga minuman karbonasi seperti Coca Cola, Sprite kurang laku. Mereka lebih senang minum air mineral, susu atau jus aneka buah..

Kalau teringat dua daerah asal tersebut, saya hanya bisa mengelus dada. Mengapa pak bupati baik di Boyolali maupun Pasuruan tidak memprioritaskan susu hasil peternaknya sebagai minuman istimewa di kantornya. Andaikata sebagian dana APBD dialokasikan untuk mensubsidi pembelian susu, saya kira tidak akan ada yang keberatan. Lebih baik dana APBD dialokasikan untuk mensubsidi susu anak – anak sekolah dari pada dihabiskan untuk ‘’nglencer’’ atau ‘’studi banding’’ dengan program yang kurang jelas.

Dalam melindungi petaninya, para pejabat Swiss umumnya bersikap pantang mundur atau dalam bahasa Inggris sering disebut ‘’ cross over my dead body’’, terjemahan bebasnya yakni ,,langkahi dulu mayat saya’’. Ini bukan hanya kalau menghadapi lawan seimbang seperti dari negara – negara berkembang, tetapi bahkan juga jika melawan Negara – Negara kuat seperti Amerika, China, Jepang, Russia atau Uni Eropa ( Swiss tidak menjadi anggota Uni Eropa)..Para negosiator Swiss akan mati – matian memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Ini wajar saja karena memang pemerintah harus melindungi kepentingan rakyatnya.

Jika kebetulan saya sedang jalan – jalan ke super market, saya sering mengelus dada, sebab saya lantas teringat jika mampir di toko buah baik di Jakarta ataupun Surabaya, sungguh sangat sulit mencari buah local. Padahal di masa kecil banyak sekali buah local yang mudah ditemukan di pasar, sekarang bukan hanya mall, plaza dan pasar modern yang sudah diserbu buah  dan sayur impor, bahkan sampai di pedagang buah kaki lima pun sudah menjajakan barang impor. Makanya kita selalu deficit dan ketahanan pangan bisa terancam.

Secara kecil – kecilan, meski di luar negeri, saya mencoba berbuat sesuatu: yakni mulai 1 Mei yang lalu saya mendeklarasikan  KBRI Bern adalah KBRI Batik. Tiap hari baik dubes maupun staff local akan memakai baju batik, kecuali kalau ada acara resmi kenegaraan dan memasuki musim dingin.Harap dimaklumi, di waktu musim dingin, temperature bisa drop sampai minus 5 C, bahkan di beberapa daerah seperti Davos, bisa mencapai minus 20 derajat Celsius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun