Rembulan tak pernah ingkar janji. Ia selalu datang pada kami tepat setelah Matahari yang jahat telah lelah memanggang bumi. Dengan sisa peluh yang masih menggantung di sudut lelah, kami berlarian ke padang rumput yang luas, menyanyikan lir-ilir yang bersahut-sahutan seolah tak akan pernah letih. Di atas ubun-ubun kami, sang dewi malam tersenyum dengan lembut, memancarkan pendarnya yang gemulai diiringi tarian gemintang. Bersama-sama dengan kami, langit dan bumi menari dalam kegembiraan.
Pepohonan menggesek-gesekkan dahan-dahannya, menciptakan iringan bagi lagu yang belum putus juga. Api unggun perlahan menyala karena gairah kami. Awalnya hanya percikan, lalu berubah menjadi sebiji salak, kemudian sebesar kepalan tangan, lalu terus membesar, membesar dan membesar seiring deru nafas kami yang bergelut bersama angin. Kemudian lagu kami terus berkumandang, hingga larut malam, hingga kami melupakan definisi waktu seiring lagu yang semakin sayu. Lalu ketika mentari yang ganas kembali memakan semesta bulat-bulat, kami telah jatuh bergelimpangan—kelelahan—sambil membisikkan lir-ilir dalam hati, kembali menantikan Sang Dewi kami, milik kami.
Rembulan tak pernah ingkar janji. Ia kembali datang menyeka tetes-tetes peluh kami yang membanjir. Ia membangkitkan tubuh-tubuh lemas kami untuk kembali menari dan menyanyikan lir-ilir. Awalnya, kami hanya mampu saling memeluk, membisik dan membeku menikmati kegelapan bersama dedaunan yang sayup-sayup menyampaikan irama kepada angin. Kemudian perlahan-lahan, ketika kami mulai menemukan tempo kami lagi, musik dari alam terdengar semakin jauh dari sayup, menguat, menguat kemudian menjadi hingar bingar. Kami menyanyikan lir-ilir dengan seluruh tenaga yang kami miliki. Begitu keras sampai yang mampu kami dengar hanyalah dengungan dan lengkingan. Lagu dan tarian terus membahana, sampai akhirnya satu pekikan mengakhiri malam itu. Sesekali terdengar desau-desau angin yang membawa hasrat semu. Lalu tubuh-tubuh kami kembali bergelimpangan, saling merasakan, menanti dibakar hari.
Rembulan tak pernah ingkar janji. Dengan lembutnya ia membangunkan kami lagi, merayu kami lagi, membuat tubuh penuh peluh kami kembali menari dan menyanyi bak kesetanan. Kali ini beberapa kami menghilang diantara pepohonan, entah kenapa. Namun anehnya, suara-suara kami—meskipun bukan menyanyikan lir-ilir yang sama—terdengar lebih gemuruh, terdengar lebih ramai, terdengar lebih liar. Pekikan-pekikan kemenangan membahana sahut menyahut dari kegelapan. Lalu seketika api unggun kami padam. Satu persatu kami, kembali bergelimpangan, saling berpelukan.
Rembulan tak pernah ingkar janji, kami percaya itu. Namun kali ini entah mengapa dia tak jua muncul di langit yang kian menggelap. Dewi kami tak pernah mengkhianati, itu yang kami percaya. Dengan khidmat kami berdiri mematung di bawah langit pekat, merasakan rerumputan yang menelisik sela-sela jari kaki. Merasakan angin yang berhembus dan membisikkan kebencian. Katanya, Kalian ditinggal pergi, sang dewi malam sedang pesta sendiri. Namun kami tetap menanti dengan khusyuk, Rembulan tak pernah ingkar janji, itu yang kami tahu.
Rembulan tak pernah ingkar janji; kami mencoba mempercayai itu. Ini sudah malam ketiga. Dedaunan bilang, Rembulan dimakan si jahat Matahari. Gemintang bilang, Rembulan menjadi gila dan dipasung di Inti bumi. Sementara, Angin tetap berkata bahwa Rembulan mengkhianati kami. Telah tiga hari kami berdiri diam, dengan rerumputan yang sama persis dan hasrat yang perlahan makin senyap. Perlahan bisikan Sang Angin merasuk ke jiwa-jiwa kami yang kesepian; Rembulan ingkar janji. Lalu perlahan kebencian menggelegak dan meracuni nadi-nadi. Kaki-kaki kotor kami mulai melangkah berputar-putar, menyanyikan lir-ilir yang sumbang.
Tubuh-tubuh kami berputar-putar di satu titik, tubuh-tubuh orang yang dikhianati. Rembulan ingkar janji, perlahan mendengung menggantikan lir-ilir. Dedaunan sunyi, membeku di tempatnya. Angin tertawa-tawa mengitari kami, meniup api kebencian kami yang semakin membesar. Rembulan ingkar janji tak henti kami nyanyikan. Di balik pohon-pohon, di tengah kegelapan, diantara lenguhan, jeritan, pekikan, geraman, gertakan, bisikan, desah, dan diam. Peluh kami terus berjatuhan membasahi malam. Rembulan tak muncul lagi keesokan malamnya, ia kembali menghilang malam lusanya, ia tak pernah kembali. Rembulan mungkin mati dimakan atau dipasung di Inti Bumi. Namun yang kami percayai adalah, Rembulan telah meninggalkan jejak kemarahan di hati kami semua.
Â
Rembulan meninggalkan kami.
Rembulan ingkar janji.
Â
Â
Yogyakarta, 12 Desember 2012
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H