"Mimpi adalah kunci. Untuk kita menaklukkan dunia."
Petikan lagu diatas seolah menjadi segala cara bagiku untuk mengejar segala impianku, mengejarnya hingga kemanapun aku pergi. Seperti dikata, mimpi adalah kunci untuk menaklukkan dunia. Bagiku, impian seperti air yang tenang namun menghanyutkan. Impian itu tak bermuara, ia membiarkannya mengalir begitu saja kemanapun pergi. Seperti oase di tengah padang pasir. Saat impian-impian itu mulai terpuruk karena kegagalanku dalam mengikuti ujian seleksi masuk universitas impian, maka muncullah impian baru yang entah darimana aku memikirkan dan mendapatkannya.
Saat semuanya hilanglah sudah, impian baru itu masih terasa sesuatu yang membuatku berpikir, "How did I get there? It was so crazy for me". Namun sekali lagi, impian bukanlah wujud harapan dari segala praktik-praktik yang tak bermula, namun wujud dari setiap langkah dan tindakan untuk merubah diri menjadi sesuatu yang lebih berkualitas. Dan kembalinya impian baru, membuat kehidupan dengan sendirinya mendapatkan identitas baru. Â
Bermula dari sebuah desa terpencil di Kediri, Jawa Timur, aku memulai segala impianku yang mungkin belum pernah terwujud dan saat itu adalah untuk pertama kalinya aku harus meninggalkan kampung halaman, sebuah kultur masyarakat yang menjalani kehidupan dengan sangat sederhana. Bagi orang-orang di kampung halaman seperti kami, mungkin impian untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi adalah sesuatu yang nilainya lebih besar daripada harta sekampung. Bagi orang-orang kampung seperti kami, impian terbaik adalah bagaimana dapat menghidupi keluarga kami. Saat tertidur di tengah malam, kami hanya memikirkan bagaimana hewan ternak kami dapat gemuk dan segera beranak pinak, bagaimana agar asap di dapur kami terus menyala, atau bagaimana agar esok hari kami dapat memetik hasil panen di kebun. Namun diriku, yang seorang diri sedang mencari jati diri, memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halaman.Â
Diriku memutuskan untuk bermigrasi ke Jakarta, sebuah ibukota yang menjadi harapan hidup bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Jakarta di mata orang-orang elit yang telah lama tinggal kepadanya tentu tidaklah sama seperti Jakarta di pikiran kami, orang-orang kampung yang memendam sejuta mimpi. Mimpi yang terpatri hanya dalam benak otak, tanpa sedikitpun mengerahkan keberanian untuk menguraikannya menjadi butiran-butiran indah nan nyata. Maka di mata orang-orang seperti kami, pergi ke Jakarta adalah sesuatu yang besar. Terlebih jika ada tetangga kami yang bekerja di Jakarta, maka sebagian yang lain dari kami tak pernah segan untuk mengeluh-eluhkan. Seolah-olah Jakarta dengan sangat pasti memberikan harapan bagi jutaan manusia di bumi pertiwi ini.
Dan inilah aku, seseorang yang dengan berani memecahkan perspektif mereka. Inilah aku, seseorang yang fakir harta lagi dhaif ilmu, berharap menjadi seseorang yang lebih hebat. Kehebatan yang menggantung sejengkal di depan keningku, dan akan ku biarkan seperti itu adanya. Karena inilah aku, yang selalu berharap mewujudkan segala impian bagiku. Maka pada saat itu, di pertengahan Ramadhan 2015, aku pergi ke Jakarta dengan hanya bermodalkan beberapa uang dan pemikiran-pemikiran di kepalaku yang akan kukerahkan sekuat tenaga pada saat ujian SBMPTN berlangsung. Dengan segera aku berpikir untuk dapat pergi ke Jakarta maka aku harus memutuskan sarana transportasi yang menunjang bagi keberangkatanku ke Jakarta.
Kereta Api.Jika tak ada rotan maka akar pun jadi.
Peribahasa itu memamg ampuh untuk menjadikan pilihan alternatif bagi manusia yang hendak memutuskan dua pilihan serius sehingga mereka Jadi Bisa mendapatkan pilihan yang terbaik disaat satu pilihan lenyap. Karena tidak memungkinkan untuk naik pesawat yang harus berangkat dari Surabaya, maka aku memutuskan untuk naik kereta api. Bagiku, bepergian dengan kereta api tergolong murah; efisien; dan efektif. Namun berhubung jarak stasiun kereta Kediri yang cukup jauh dimana harus oper angkot sebanyak 3 kali, maka harapan untuk bepergian dengan kereta api pun musnah sudah. Kemudian ibu memberiku saran untuk memesan tiket kereta api di calo. Biarpun bayarnya sedikit mahal, asalkan aku bisa berangkat ke Jakarta.Â
Tak dinyana, iklan Traveloka muncul di televisi dan langsung memberiku ide untuk memesan tiket kereta api melalui Alfamart. Sepertinya, Tuhan mulai membuka jalan keluar untuk setiap permasalahanku. Setibanya di Alfamart, aku cukup terkejut karena harga tiket di Traveloka tidak berbeda jauh dengan harga tiket di PT KAI. Menurut informasi yang tertulis di laman IDN Times, Traveloka memang telah bekerjasama dengan KAI untuk menjadi agen penjualan tiket kereta online terbesar di Indonesia. Maka dari itu, tidak perlu diragukan lagi kredibilitas Traveloka sebagai penyedia tiket kereta api berbasis online terbesar dan terpercaya di Indonesia. Dan inilah yang pada akhirnya membuat segala tekadku semakin kuat, sekuat baja. Yang di kemudian hari, aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku gagal untuk mengejar impianku. Kala itu dunia seperti runtuh di pundakku, hanya aku yang merasakan rasanya sakit itu.Â
Seluruh orang-orang yang berhasil diterima, semakin membuatku merasa rendah diri. Ditambah, kerasnya hidup di Jakarta membuatku mengerti bahwa aku tak mungkin hanya berdiam saja. Tidak ada uang tanpa usaha, tiada hasil tanpa kerja keras. Setegas itulah prinsipku yang pada akhirnya membawaku untuk bekerja sebagai kuli bangunan. Ah, kurasa pekerjaan apapun akan tetap bernilai jika dikerjakan dengan penuh rasa tanggung jawab dan kepercayaan serta keikhlasan. Sambil bekerja, aku juga masih berharap untuk mengejar segala impianku dengan terus belajar sungguh-sungguh karena aku yakin ikhtiar tidak akan mengkhianati hasil.
Beberapa bulan terlibat dengan aktivitas pekerjaan yang semakin rumit, maka pada pertengahan Oktober aku memutuskan untuk hengkang dan mengikuti komunitas 1000 GURU, sebuah komunitas non-profit yang membawaku untuk bisa menjalankan kegiatan TNT (Travelling and Teaching) yang biasa diselenggarakan oleh komunitas ini. Disinilah aku mengenal arti berbagi, saat yang lain membutuhkan. Dan disinilah aku mengenal arti kehidupan yang sebenarnya bahwa seberapa besar impian tersebut, impian  yang paling besar adalah dapat memberi manfaat bagi manusia yang lain. Memberi manfaat bagi orang lain adalah kriteria dari sebaik-baik manusia, meskipun aku sendiri belum termasuk menjadi sebaik-baik manusia. Namun aku berusaha untuk menjadi manusia yang baik dan terus seperti itu.
Dalam melakukan kegiatan TNT, aku dan beberapa teman relawan yang ikut pergi ke lapangan, memutuskan untuk berangkat dari Jakarta ke daerah pelosok dengan menggunakan kereta api yang mana terlebih dahulu aku melakukan pemesanan melalui Traveloka. Siapa sangka, program Traveloka dalam meningkatkan kepuasan konsumennya memang patut diacungi jempol. Tidak salah apa yang dikatakan oleh Tech In Asia, situs yang memuat informasi terbaru mengenai para penggiat startup di Asia bahwa tidak hanya memberikan promo harga murah, Traveloka juga memberikan asuransi perjalanan yang bekerjasama dengan Chubb.Â
Pada saat itu, kami yang bepergian dengan kereta kelas bisnis hanya membayar Rp 9.000 untuk premi asuransi dimana jika terjadi kecelakaan atau pembatalan keberangkatan dari pihak KAI dapat dicairkan dalam bentuk dana hingga sebesar Rp 12 juta. Tak hanya itu, bahkan memesan tiket kereta api melalui Traveloka juga memberikan perlindungan jika terjadi kehilangan barang. Untuk itulah, jika hanya bepergian di Jawa, aku selalu menggunakan kereta api. Dan salah satu kegiatan yang paling menyenangkan ketika bepergian dengan menggunakan kereta api adalah harganya yang murah disamping kami dapat bercengkrama sambi menyaksikan lukisan Tuhan yang mematang di hamparan tanah nan hijau.Â
Lukisan Tuhan itu seolah melambaikan kepergian kami dari Stasiun Pasar Senen ke Stasiun Malang Lama dimana aku dan teman-teman relawan mengajar anak-anak di Desa Tumpang, desa yang terletak di bawah kaki Semeru, puncak tertinggi Jawa yang pada orasinya, Bung Karno pernah berkeinginan untuk mencabut Semeru hingga ke akar-akarnya dengan pemuda-pemuda yang tangguh. Dan kemudian karena itulah aku mulai mengerti bahwa meskipun aku berasal dari titik nol, namun untuk mencapai titik tertinggi Jawa yang sempat membuat bulu kuduk merinding menatap kebesaran Tuhan, aku telah mengerti bahwa siapapun dapat menJadi Bisa termasuk mewujudkan impian-impian yang belum terwujud. Impian itu, biarkanlah saja mengalir. Terus mengalir hingga pada akhirnya menemukan titik ujungnya dengan cara yang tidak pernah diduga. Dan mimpi adalah, kau memulainya dari titik nol dan kau menghayatinya pada titik jiwa terlebih di titik puncak Jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H