Marcus Rashford tetap membekas. Dari seorang pahlawan yang memenangkan hati bangsa hingga pemain yang tampak kehilangan arah, perjalanan Rashford penuh lika-liku. Ini kisah seorang bintang yang pernah menentang pemerintah, namun kini harus menghadapi badai kehidupannya sendiri.
Musim panas 2020 mungkin terasa seperti kenangan lama, tapi kisahAwal Perjuangan: Membela Anak-anak di Tengah Pandemi
Pada April 2020, saat dunia dilanda pandemi, Menteri Kesehatan Inggris saat itu, Matt Hancock, meminta para pemain Liga Primer untuk "memainkan peran" mereka membantu masyarakat yang kesulitan. Namun, Rashford sudah lebih dulu bergerak sebelum diminta.
Enam hari sebelum lockdown diumumkan, Rashford menelepon timnya. Bukan untuk membahas pemulihan cederanya, tetapi tentang satu hal yang terus menghantui pikirannya: "Bagaimana nasib anak-anak yang bergantung pada makanan sekolah gratis?"
Sebagai seseorang yang pernah hidup dari bantuan makanan sekolah gratis dan kemurahan hati tetangga, Rashford tahu betul dampaknya. Itu adalah awal dari sebuah kampanye besar yang mengubah hidup banyak orang.
Memenangkan Hati Bangsa
Rashford melobi pemerintah untuk memperpanjang skema voucher makanan bagi anak-anak kurang mampu selama liburan sekolah. Kampanye ini sukses besar, memaksa pemerintah Boris Johnson untuk mundur.
Bersama FareShare, sebuah organisasi yang mendistribusikan makanan bagi yang membutuhkan, Rashford membantu menyediakan lebih dari 21 juta makanan untuk anak-anak dan keluarga. Ia menjadi simbol harapan, bahkan penggemar Liverpool -- rival abadi Manchester United -- ikut memberikan tepuk tangan.
Pada akhir 2020, Rashford mendapat gelar MBE atas usahanya. Namanya terpampang di mural-mural, ia tampil di sampul majalah Time, dan menjadi idola nasional. Namun, di balik semua itu, badai mulai mendekat.
Dari Puncak ke Titik Terendah
Kini di usia 27 tahun, Rashford seharusnya berada di puncak kariernya. Namun, segalanya tidak berjalan mulus. Dari aksi di lapangan hingga kehidupan pribadinya, Rashford menghadapi tantangan besar.
Musim 2022/23 sempat memberi harapan saat ia mencetak 30 gol untuk United dan bersinar di Piala Dunia. Tapi, sejak itu, performanya menurun drastis. Kegagalan di lapangan ditambah dengan tekanan kehidupan pribadi -- termasuk kabar perpisahannya dengan tunangan masa kecilnya, Lucia Loi -- membuat Rashford tampak seperti jiwa yang tersesat.
Pesta Tequila dan Kritik Tajam
Kisah Rashford semakin rumit ketika kabar tentang "pesta tequila selama 12 jam" di Belfast muncul. Media juga melaporkan kebiasaannya menghabiskan waktu di kasino dan pesta rumah yang meriah. Semua ini menjadi bahan kritik, terutama dari penggemar United yang merasa Rashford kehilangan fokus.
Manajer baru United, Ruben Amorim, bahkan mencoret Rashford dari skuad untuk derby melawan Manchester City. Alasannya? Rashford dianggap tidak memenuhi standar, baik di dalam maupun luar lapangan. Amorim menegaskan bahwa Rashford perlu memperbaiki sikap dan performanya.
Simpati dan Harapan untuk Perubahan
Di tengah kritik, Rashford tetap menunjukkan sisi baiknya. Ia tetap aktif dalam kegiatan sosial, seperti membagikan hadiah Natal untuk 420 murid di bekas sekolahnya. Namun, sikapnya yang terkadang bertentangan dengan manajer dan rekan tim membuat situasinya semakin sulit.
Rashford juga harus menghadapi pelecehan rasial yang terus-menerus menghantamnya sejak final Piala Eropa 2021. Pesan-pesan kebencian itu jelas berdampak pada kesehatan mentalnya.
Apa Selanjutnya untuk Rashford?
Pertanyaan besar kini menggantung: bisakah Rashford menemukan kembali semangatnya? Ataukah ia perlu meninggalkan Manchester United, klub yang telah dibelanya sejak usia tujuh tahun, untuk memulai babak baru?
Tidak ada jawaban mudah untuk masalah ini. Tapi satu hal yang pasti, perjalanan Marcus Rashford adalah pengingat bahwa bahkan pahlawan pun bisa jatuh. Yang penting adalah bagaimana ia bangkit kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H