bola di lereng bukit yang menghadap ke French Riviera. Sounds fancy, right? Itu realitanya di AS Monaco, klub sepak bola yang nggak cuma jago main bola tapi juga punya strategi bisnis yang bikin kagum. Di bawah langit Cote d'Azur, 15 pemain dari berbagai negara berlatih dengan panduan pelatih Austria. Ini bukan sekadar sepak bola, ini adalah game plan global.
Coba bayangin, latihan sepakBukan Klub Multi-Tingkat, Tapi Multi-Fokus!
Beda sama klub besar lainnya yang punya koleksi klub di mana-mana, Monaco hanya punya satu "adik" klub: Cercle Brugge di Belgia. Simpel tapi efektif. Kenapa cuma satu? Karena fokus mereka adalah memaksimalkan potensi tanpa terpecah-pecah. Dengan model ini, Monaco bisa gesit cari talenta, sekaligus memastikan pemain berkembang tanpa kehilangan arah.
Nggak heran, Monaco berhasil menciptakan tim yang solid. Lihat saja pelatih mereka, Adi Hutter, yang sukses mengombinasikan bakat muda dengan pengalaman untuk menghasilkan permainan ciamik. Dan uniknya, bahasa di lapangan itu bervariasi banget: Inggris, Portugis, Prancis, sampai Jerman. "Keberagaman adalah senjata kami," kata Carlos Avina, direktur teknik Monaco.
Investasi Cerdas: Dari Bakat Mentah Jadi Berlian
Model bisnis Monaco sebenarnya klasik tapi sangat efektif: beli pemain muda dengan potensi besar, kembangkan, lalu jual dengan harga fantastis. Contoh? Aurelien Tchouameni. Dibeli seharga 16 juta euro pada 2020, lalu dijual ke Real Madrid dua tahun kemudian seharga 80 juta euro plus bonus 20 juta euro. Itu baru satu dari banyak contoh sukses mereka.
Untuk memperkuat strategi ini, mereka nggak pelit investasi. Fasilitas latihan di La Turbie, misalnya, direnovasi habis-habisan dengan biaya 55 juta euro. Hasilnya? Ada ruang pemulihan super canggih, gym dengan slogan "RISE, RISK, REPEAT", dan ruang ganti modern dengan sentuhan personal. Bahkan, produk akademi seperti Eliesse Ben Seghir dan Maghnes Akliouche sekarang bersinar di tim utama.
Cercle Brugge: Pintu Gerbang ke Eropa
Kerja sama dengan Cercle Brugge adalah bagian integral dari strategi Monaco. Pemain muda sering "disekolahkan" di klub Belgia ini untuk dapat pengalaman. Lihat saja Radoslaw Majecki, kiper Polandia yang sempat bermain di Cercle dan sekarang jadi kiper utama Monaco. Dengan hanya meminjamkan tiga pemain per musim, Monaco memastikan kualitas tetap terjaga.
"Kita nggak memaksakan apa-apa," kata Avina. "Cercle punya otonomi, tapi kita pastikan visi dan pengembangan pemain tetap selaras."
Satu Tujuan, Banyak Jalur
Cercle bukan sekadar tempat transit. Klub ini punya target jadi salah satu dari enam besar Liga Belgia. Dengan mayoritas pemain berusia di bawah 25 tahun, mereka fokus pada fleksibilitas dan kualitas unik tiap individu. "Setiap pemain harus punya sesuatu yang luar biasa," jelas direktur olahraga Cercle, Rembert Vromant. Dan di sinilah koneksi dengan Monaco jadi jelas: filosofi bermain, latihan, hingga pengembangan pemain semuanya diselaraskan.
Monaco dan Masa Depan
Monaco mungkin nggak sepopuler PSG di luar Prancis, tapi jangan salah, mereka adalah salah satu inovator terbaik di sepak bola modern. Dari keberagaman pemain, strategi bisnis cerdas, hingga fokus pada pengembangan bakat muda, mereka punya segalanya untuk terus bersinar.
"Sepak bola itu hiburan, dan pemain adalah seniman," kata CEO Thiago Scuro. Dengan visi seperti ini, nggak heran kalau Monaco terus menciptakan gelombang besar di dunia sepak bola. Jadi, lain kali kalau dengar nama Monaco, ingat, ini bukan cuma tentang kemewahan French Riviera. Ini tentang bagaimana strategi cerdas bisa mengubah dunia sepak bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H