Bambu-bambu yang tumbuh di sela pekaranganmu
Mustahil dapat mengalahkan peluru
Deru mesin-mesin tempur mereka
Seolah mengerdilkan semangat selama beberapa abad
Ingatkah saat kita mampu menatap matahari
Disanalah aku akan tetap berdiri
Bukan untuk sekedar mengumpulkan jerami
Tetapi merenggut kembali kebebasan kami
Kolonialisme adalah kejatan terhadap kemanusiaan
Tindakan biadab yang tak bermartabat
Bagiku...
Kemerdekaan adalah hal yang tak boleh dipaksakan
Melainkan ditumbuhkan
Entah dimana lagi akan kucari negeri seindah ini
Seelok senja yang menghiasi sore hari
Kobarkan semangat bambuÂ
Yang ternyata mampu mengerdilkan peluru
Karena...
Aku Tetap Indonesia, Aku Tetap Merah Putih
Tahun ini peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-77 mengambil tema besar "Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat" sebuah semangat nan kuat di tengah-tengah proses revitalisasi semua sektor mulai dari pendidikan, sosial hingga ekonomi.
Jika kita runut kembali sejarah bangsa ini, maka akan banyak sekali cerita perjuangan yang seharusnya dapat dijadikan pedoman guna mengarungi era transisi yang sekarang harus kita lewati.
BAMBU RUNCING
Perjuangan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajah menggunakan bambu runcing sudah menjadi frasa yang kerap diperdengarkan kembali saat peringatan kemerdekaan 17 Agustus.
Sejumlah kota termasuk Surabaya yang dikenal sebagai Kota Pahlawan pun menggunakan Bambu Runcing sebagai salah satu monumen tanda perjuangan di wilayah tersebut. Monumen Bambu Runcing yang berdiri tegak di Jl. Panglima Sudirman seakan menandai betapa hebatnya rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaannya.
Senjata bambu runcing pertama kali dikenalkan oleh seorang ulama asal Temanggung bernama Kiai Subkhi. Penggunaan bambu runcing sebagai senjata bermula dari minimnya ketersediaan senjata perang waktu itu, sementara perjuangan tetap harus dilanjutkan.
Oleh sebab itu para pejuang lantas memanfaatkan senjata seadanya untuk perang melawan penjajah. Kiai Subkhi yang notabene tinggal di pesantren memperkenalkan kepada para santri-santrinya senjata bambu runcing karena keinginan kuat para santri untuk ikut berjuang melawan penjajah.
Bambu-bambu dikumpulkan oleh para santri dari pekarangan penduduk, kemudian mereka meruncingkan ujungnya dan dioles cairan. Beberapa laskar lain yang menggunakan bambu sebagai senjata antara lain laskar Hisbullah, Sabilillah dan juga Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Meskipun terkesan tradisional, ternyata keberadaan bambu runcing cukup menakutkan para penjajah. Hal itu disebabkan karena ketika dilemparkan, bambu tidak bersuara hingga tiba-tiba dapat mengenai tubuh tentara penjajah.
Belanda menyebut bambu runcing sebagai pembunuh dalam keheningan.
Para penjajah juga pernah mengatakan bahwa lebih baik terkena senjata peluru karena bisa diobati, sedangkan jika terkena bambu akan sangat sulit diobati. Orang yang terkena bambu runcing akan meninggal dengan perlahan akibat luka infeksi parah.
Dalam kondisi keterbatasan, para pejuang berusaha sekuat tenaga untuk melawan penjajah. Seharusnya semangat bambu ini dapat kita adopsi di masa sekarang. Dimana saat ini meski banyak halangan dan rintangan, namun kita tetap harus pulih dan bangkit menggunakan sumber daya apapun yang kita miliki.
Tantangan demi tantangan takkan mungkin terelakkan. Masalah demi masalah takkan mampu dinafikan. Pilihan ada di tangan kita untuk menyerah dengan keadaan atau terus berjuang dan keluar sebagai pemenang.
Tak peduli seberat apapun perjuangan kita menghadapi segala situasi, selama masih ada semangat dan motivasi, maka semua menjadi mungkin untuk diatasi. Mari kobarkan semangat bambu yang ternyata mampu mengerdilkan peluru.Â
Dirgahayu Republik Indonesia ke-77
Salam Sehat, Sukses dan Bahagia
-Anjas Permata
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI