"Cinta itu bukan perjuangan, melainkan berasal dari kecocokan jiwa" -The Architect-
Tjiptadinata Effendi lahir di Padang 21 Mei 1943. Lelaki yang akrab disapa pak Tjipta ini merupakan salah satu anggota kompasiana atau biasa disebut dengan "kompasianer". Tak banyak yang aku tahu dari beliau. Maklum kami hanya bertegur sapa di blog berjamaah ini.
Beliau pertama kali menjumpai saat tulisanku berhasil menjadi headline. Mungkin karena pemula jadi jarang dikenal. Ketika masuk kategori artikel utama agak terpampang sedikitlah muka saya (hihi..). Hingga pak Tjipta penasaran lalu mampir ke cafe blog The Architect.
Sejak saat itu kami saling mengagumi. Salah satu hal yang paling menggelitik hingga sekarang adalah penyebutan namaku "Anjas" menjadi "Andjas".Â
Mungkin karena beliau termasuk generasi "baby boomers" pakainya Ejaan Yang Belum Disempurnakan jadi huruf "J" harus ditulis "Dj" (hahaha.. piss pak Tjipta).
Tak apalah, aku anggap sebagai atribut kehormatan seorang senior kepada juniornya. Seperti halnya aku juga begitu kepada rekan-rekan terdekat yang biasanya tidak panggil nama KTP tetapi nama persahabatan semisal Keceng, Dalbo, Kepik, Mbois dan lain-lain.Â
Dari tulisan sederhana ini, ingin kubagikan beberapa hal positif yang aku pelajari dari beliau. Seorang Lansia Tetap Aktif dan produktif yang menolak senja. Aku rangkum dalam tema "Api Cinta yang Menghidupkan"
Roselina Tjiptadinata
Tepat di bulan Januari 2021 mereka merayakan hari pernikahan yang ke-56. Astaga.. saat aku mengetahui hal itu sontak perasaan kagumku menggelinding cepat. 56 tahun men! semua orang pasti mengira tidak mudah mempertahankan pernikahan selama itu.Â
Namun aku punya analisa berbeda. Begini mas bro.. pastinya perjalanan kisah cinta antara pak tjipta dan bu lina tidak semulus pipi Amanda Manopo.Â
Banyak suka-duka, sedih-bahagia, senang-susah yang telah mereka lewati. Kalau harus mempertahankan atau memperjuangkan sudah barang tentu berat. Aku melihat ada sisi lain yang menguatkan mereka dan aku menyebutnya "kecocokan jiwa".
Setiap pasangan bisa saja menjalani hubungan karena "merasa" cocok, tapi tidak semua pasangan memiliki kecocokan jiwa. Perbedaan dari merasa cocok dengan kecocokan jiwa terletak pada sudut pandang dan perilaku yang ditunjukkan.
Kalau kamu hanya merasa cocok artinya ada unsur yang dipaksakan agar bisa bersama. Misalnya kamu merasa cocok dengan seorang wanita karena dia cantik dan seksi pokoknya sesuai sama kriteria kamu. Lalu kamu berusaha mati-matian mendapatkannya.
Setelah kamu dapatkan dia fase berikutnya  adalah kamu juga harus mati-matian mempertahankan. Yang paling rawan dari hubungan "merasa cocok" ini adalah jikalau kamu akhirnya ditinggalkan. Karena investasi emosi kamu sudah berlebihan akhirnya bisa mengubur rasionalitas dan akal sehat.
"Kecocokan Jiwa" memiliki makna berbeda. Setiap pasangan yang mempunyai kecocokan jiwa tidak perlu harus mati-matian atau berusaha mendapatkan. Tidak perlu juga harus berjuang untuk mempertahankan. Mengapa? karena energi kecocokan jiwa itulah yang menguatkan.
Sehingga apapun yang terjadi atau dialami sepanjang perjalanan kisah cinta, baik itu kisah yang menyenangkan maupun menyakitkan akan mampu dilewati karena energi kecocokan jiwa sudah mengikatkan mereka.
Sejujurnya aku melihat dan merasakan kecocokan jiwa dari pak tjipta dan bu lina. Paling mudah bisa kita amati dari hobi mereka yang sama sebagai penulis. Kedua, siapa yang bisa berargumentasi dan meragukan usia pernikahan 56 tahun mereka. Hmmm.. dengan menghela nafas panjang sekali lagi aku kagum.
Happy 56th Wedding Anniversary Mr and Mrs. Tjiptadinata!
Menjadi Penulis
Saking kepo nya aku sampai hitung bulan dikali hari dikali tulisan. Lalu aku mendapatkan angka 2.970 tulisan jikalau setiap hari menulis.
Memang benar logika tak bisa mengalahkan rasa. Setelah aku intip statistik pak tjipta, oh my god.. totalnya 5.268 tulisan men!Â
Selama 99 bulan beliau bergabung di kompasiana berarti setiap bulan menghasilkan rata-rata 53 tulisan. Pantas saja beliau sangat layak dinobatkan sebagai penulis nomer wahid dalam rangkaian acara kompasianival tahun 2020 kemarin.
Passion menulis adalah api cinta beliau. Aku merasakan spirit berbagi yang begitu kental dari beliau. Berbagi hal-hal positif kepada sebanyak mungkin orang adalah kekuatan luar biasa dalam kehidupan kita.
Kalau beliau tidak cinta menulis, maka tidak mungkin ada di fase ini. Rasa kecintaan beliau terhadap bidang literasi inilah yang selalu menghidupkan.
***
Demikian sedikit coretan yang aku persembahkan kepada pak Tjipta dan ibu Lina. Dua sosok inspirator yang mampu menggerakkan kami para penulis muda untuk terus berkreasi, berkarya dan berbagi manfaat.
-AP-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H