Kegilaan saya akan klub Sunderland, mulai menyeruak kembali. Saya benar-benar penasaran melihat sepak terjang mereka di liga yang membuat mereka harus sama-sama bermain dengan Ason villa dan fulham, dua nama yang juga punya citra mentereng pada tahun 90an.Â
Namun, lagi-lagi saya dibuat surprise oleh Sunderland. Ealah, bukannya menunjukan motivsi yang besar (layaknya motivasi saya yang ingin kuliah disana) mereka malah bermain ogah-ogahan, dan hasilnya diakhir musim 2018 sudah ketebak. Sunderland AFC, harus tereliminasi satu tingkat lagi dibawah championship. Mereka harus bermain di Liga 1, yang menjadi liga kasta ketiga dalam piramida sepakbola Liga inggris. Sial? banget.Â
Bahkan gelar Back to Back relegation harus dengan malu mereka sandang, setelah hampir satu dasawarsa lamanya tidak ada klub yang harus terdegradasi dua kali dalam dua musim beruntun. Luar biasa Sialnya, untuk klub dengan prestasi yang sebenarnya lumayan mentereng untuk klub yang merupakan lawan berat Newcastle United yang terkenal dalam balutan Tyne-Wear derby.
Nah, di sisi lain. Satu nama yang membawa beberapa orang dari generasi 90an ikut berbangga hari adalah kembalinya klub sepakbola bernama Parma yang setelah beberapa tahun sempat menghilang dan bermain dikubangan divisi bawah Serie A. Pada beberapa minggu lalu Parma yang telah berganti nama menjadi Parma Calcio 1913 resmi naik pangkat ke Serie A musim 2018/2019, mendampingi Empoli yang sudah jauh-jauh hari sudah mengunci tiket promosi.
Apa yang menarik dari Parma ini? kalau buat anak jaman sekarang, nama Parma mungkin hanya terdengar seperti nama Benevento, yang diperkirakan akan langsung tergusur ke Serie B pada musim berikutnya. Jangan salah pada masanya, di pertengaahn tahun 90an Parma adalah klub yang cukup disegani di kancah Eropa dengan beberapa kali nyangkut di final Piala UEFA (saat ini European League) bahkan mereka menjuarainya di tahun 1999 mengalahkan runner up European League musim ini Marseille. Kalau bicara nama pemain, hmm nama Parma terkenal dengan barisan defendernya yang super yahud dan penyerang yang cukup disegani karena positioningnya (yang kala itu hanya bisa disejajarkan dengan Pippo Inzaghi).Â
Hebatnya, Parma yang musim depan resmi berlaga kembali di serie A adalah satu-satunya klub dalam sejarah Liga Italia yang mampu merangkak naik dari divisi Serie D menuju Serie A hanya dalam waktu empat musim atau terus menerus mendapatkan tiket promosi untuk naik ke divisi yang lebih atas.Â
Sebuah prestasi yang tidak lazim untuk klub yang sempat dinyatakan pailit atau bangkrut di pertengahan tahun 2000an selepas kasus Calciopolli. Topik yang menjadi trending adalah nama sang kapten yang mengantarkan Parma kembali ke habitatnya di Serie A, yaitu Alessandro Lucarelli yang justru resmi pensiun ketika tiket promosi berhasil digapai sesuai janjinya (sedikit mirip kasus melankolis Zidane yang resign dari Real Madrid setelah lima hari sebelumnya meraih hat trick liga Champions).
Nah, benang merah yang didapatkan dari perbandingan dua klub tersebut adalah gelaran takdir yang dapat berlaku berbeda untuk tim yang sebenarnya sempat menjadi kuda hitam pada masanya. Namun, klub Parma sendiri lewat cuitan kaptennya, pernah mengatakan beberapa hal yang membuatknya ogah bermian di level terbawah Serie A. Sebuah pernyataan yang saya rasa juga akan diamini oleh para pemain Sunderland betapa mengerikannya bermain di divisi yang tidak populer di liga negerinya maisng-masing.
Secara tidak langsung pernyataan dari Lucarelli ini, juga sempat menjadi keluh kesah Lee Catermoole sang kapten Sunderland FC dalam salah satu wawancaranya dengan harian dari Inggris. Ada tiga ketakutan besar dari para pemain, jika klub nya harus berlaga di divisi yang lebih rendah dari divisi sebelumnya apalagi diluar dari divisi yang menjadi daya tarik utama sebuah penonton di negara yang terkenal gila bola.
Ketakutan pertama adalah soal finansial. Jelas duit akan selalu menjadi momok yang mengerikan bila sebuah klub harus bermain di level bawah. Kehilangan hak siar televisi (yang jelas lebih akan memilih klub papan atas) dan kehilangan uang dari menurunnya tiket terusan yang biasanya akan menjadi motivasi utama seorang supporter menonton tim kesayangannya. Pemasukan yang berkurang juga dipastikan akan mempengaruhi pendapatan masing-masing pemain tiap bulannya. Bukan rahasia, jika klub mengalamai degradasi dipastikan akan ada pemotongan gaji, hingga terjadinya bongkar gudang, yang sebenarnya merupakan ketakutan berikutnya.