Niatnya sih mau nyenengin hati istri dengan jalan-jalan ke tempat yang belum pernah di datangi. Keinginan hati juga ingin bermain ke Indonesia Timur yang terkenal akan laut nya yang biru, namun apa daya tiket perjalanannya lebih mahal daripada tiket mudik lebaran sekeluarga.Â
Pada akhirnya, saya dan istri memutuskan untuk bermain dan menikmati Malaysia, yang diwakilkan oleh Kota Melaka. Tidak ada alasan spesifik kami memilih Melaka. Semua imajinasi hanya digambarkan dari google Images yang mempesona. Tidak ada kerabat kami yang pernah mampir sebentar di kota "yang katanya" mirip Yogyakarta. No Problems, kami percaya tempat baru pasti akan selalu menghasilkan cerita baru.
Tulisan ini bukan bercerita mengenai bagaimana perjalanan saya di kota Melaka, namun lebih kepada unsur "cerita baru" yang saya dapatkan dari Melaka yang setelah saya pikir-pikir kenapa tidak bisa diinjeksikan dalam sepakbola negara kita.
Pertanyaan yang selalu terngiang adalah "apa yang salah dengan sepakbola Indonesia?", banyak suara yang berkumandang juga "padahal kan kita sudah sering me-naturalisasikan pemain bule". Mungkin (dan sekali lagi ini pendapat saya) disitu celah kesalahan yang sedikit terkuak, walau tidak begitu lebar.
Tidak ada yang salah dengan naturalisasi pemain asing. Berdasarkan data yang saya himpun dan saya kaji, bahwa 100 persen pemain yang di naturalisasi adalah pemain berdarah eropa hingga Afrika.Â
Tidak ada satupun yang berdarah Tionghoa atau Chinese. Kenapa saya sampai berfikir begitu? Semua terjawab ketika saya bermain ke salah satu heritage place yang ada di sekitaran Jonker Street, pusat kota Melaka. Ada satu rumah kuno yang sampai sekarang masih sering disinggahi oleh pemiliknya. Namanya adalah Baba & Nyonya Heritage museum.
Apa yang unik dari cerita Baba & Nyonya ini? Alasan kenapa ini menjadi salah satu tonggak sejarah di Melaka, yang berkibar hingga ke seluruh Malaysia adalah, bahwa Baba dan Nyonya menjadi simbol perpaduan antara orang Melayu asli dan Orang Tionghoa yang kala itu sebagai pendatang. Kombinasi dari keduanya membentuk peranakan yang turun temurun hingga keturunan kesembilan pada masa saat ini.
Memang apa yang menarik dari bentuk peranakan ini? Yang saya kutip dari guide rumah tersebut adalah, kenapa "Nyonya " yang merupakan wanita Melayu asli mau menikahi "baba" yang merupakan warga Tionghoa pendatang adalah karena filosofi yang sudah terkenal akan sifat orang Tionghoa.Â
Ulet dan mau bekerja keras. Sebuah sifat yang tidak dimiliki oleh bansga Melayu, khususnya warga Melaka zaman dahulu. Ada kepercayaan, bahwa dengan menikahi orang Tionghoa, kehidupannya akan mapan dan bahagia, karena orang Tionghoa selalu bekerja keras demi keluarganya. Pemikiran lama tersebut, terbukti hingga saat ini, dimana keluarga peranakan Baba dan Nyonya tetap hidup sejahtera.
Banyak cerita yang bisa diambil dari perjalanan saya ke Baba dan nyonya yang mengingatkan saya kenapa tidak ada unsur Tionghoa lagi dalam sepakbola Indonesia, khususnya tim garuda merah putih. Okelah, kalau berbicara mengenai referensi akan Tionghoa yang pernah berjaya di sepakbola kita, pasti sangat bejibun. Bilang saja buku "Tionghoa Surabaya Dalam Sepakbola" karya Bayu Aji hingga "Tamasya Sepakbola" milik Darmanto Simaepa yang menuliskannya dalam beberapa bab di kitab sucinya tersebut.Â