Mohon tunggu...
Faridhian Anshari
Faridhian Anshari Mohon Tunggu... -

Seorang spectator sedari kecil yang "kebetulan" menjadikan sepakbola sebagai teman dan ramuan dalam eksperimen ajaibnya.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola, Politik, dan "Self Branding" yang Terbalik

21 Februari 2018   13:47 Diperbarui: 21 Februari 2018   14:00 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau berbicara tolak ukur yang berbeda? Hmm..masih ada rangking FIFA. Jaman saya kecil, ketika mencari nama Indoensia diantara nama seluruh negara didunia, cukuplah dengn melihat nomor 100, dan menghitung naik beberapa nomor keatas. Zaman itu negara kita maish ada diperingkat 90-an. Namun sekarang, jangan jadikan nomor 100 sebagai tolak ukurnya.

Cobalah tolak ukurnya diubah menajdi nomor 150. Nah, nama Indonesia ada disekitaran sana. Miris? Bukan lagi, sudah kebal. Tangga lagu FIFA ini memang sudah seringkali tercetak dimasa kepemimpinan Edy Rahmayadi, namun hasilnya selalu sama, hanya di level itu-itu saja.

Jika prestasi yang tertulis masih belum terlihat jelas, prestasi lain dari Edy yang terkenal adalah komentar-komentar "anehnya" yang terkadang masih tidak dapat dimengerti oleh kami manusia awam pecinta sepakbola. Dari ratusan hari masa kepemimpinan Edy, komentar paling nyeleneh yang terkenal adalah larangan pemain sepakbola Indonesia untuk main di luar Indonesia.

Cap anti nasionalis dipastikan akan melekat didada mereka. Komentar tersebut keluar begitu saja, ketika seluruh bangsa lagi asyik menebak-nebak berhadiah kemana Evan Dimas hingga Eggy Maulana akan bermain di Eropa. Kalau dalam bahasa politik, ini namanya komentar yang tidak populer.

So, kalau mau diambil kesimpulan, tidak ada yang berubah dari sepakbola Indonesia selama masa kepemimpinan Edy Rahmayadi semenjak 10 November 2016. Mungkin tim pembisik Edy harus lebih jago menyikapi studi kasus ini, apa yang ingin dibranding atau dijual selama masa kampanye jika prestasi Edy di PSSI dan Sepakbola Indonesia tidak ada yang berarti? 

Atau mungkin tim pembisik Edy sempat melihat kiprah Pele yang sempat menjadi menteri olahraga di Brazil, atau Kahka Kaladze yang berkibar sebagai wakil presiden di Gerorgia, atau bahkan tim pembisik tergiur dengan kisah haru biru seorang George Weah berhasil menjabat sebagai orang nomor satu di Liberia, salah satu negara di Afrika yang justru terdengar gaungnya karena nama George Weah dahulu.

Kalau mau dibandingkan dengan ketiga nama diatas, terlihat perbedaan yang mencolok dari sisi branding yang diangkat ketika ingin menjadi seorang politisi. Pele lebih dulu dikenal karena prestasinya sebagai pemain muda Brazil yang meraih piala dunia 1958, Kahka Kaladze juga dikenal dulu sebagai satu-satunya pemain asal Georgia yang pernah mengangkat Piala Champions Eropa, sedangkan George Weah pernah meraih pemain terbaik Eropa. Silakan dilihat apa persamaan prestasinya dengan Edy Rahmayadi? Yup benar, jawabannya tidak terlihat alias nol.

So, silakan menjadi pemilih yang pintar ya, serta jangan lupa jika ingin terjun kedunia politik, kembangkan dulu sayap yang menghasilkan citra positif serta prestasi mengkilap. Sesudah itu ada jaminan banyak pemilih. Believe me!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun