Mohon tunggu...
Faridhian Anshari
Faridhian Anshari Mohon Tunggu... -

Seorang spectator sedari kecil yang "kebetulan" menjadikan sepakbola sebagai teman dan ramuan dalam eksperimen ajaibnya.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

"13 Reasons Why" Kita (Boleh Ikut) Membenci Arsenal

22 Januari 2018   18:11 Diperbarui: 23 Januari 2018   02:32 2052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: graphicsbuzz.com

Bukan karena saya masih sangat mengagumi karya Jay Asher yang sempat diunggah oleh Netflix, dimana menggambarkan romantisme bunuh diri dengan balutan kisah kasih tak sampai milik Clay Jensen teruntuk Hannah Baker. Namun lebih karena saya sangat suka dengan angka 13 yang selalu diidentikan dengan kesialan. Some people say, that is the unlucky number!

Sangat tepat jika, angka 13 melekat dengan Arsenal. Jelas bukan karena posisi mereka di tabel klasemen EPL, bukan karena jumlah gelar liga Inggris dan Piala FA yang berjumlah 13, bukan juga karena jumlah tahun mereka tanpa gelar juara liga, apalagi karena jumlah tahun Arsene Wenger menangani Arsenal (yang kita tahu bersama, sudah sangat melebihi 13, bahkan buat saya sudah terasa seumur hidup).

Angka 13 sangat tepat untuk menggambarkan kesialan Arsenal saat ini, sebagai sebuah klub sepakbola yang sempat berjaya di masanya. Lebih tepatnya, angka 13 yang mengagendakan kesialan, menjadi bahan olahan yang menarik untuk menceritakan kenapa akhir-akhir ini (saya sih ngrasa begitu) banyak orang yang ikut-ikutan membenci Arsenal.

Mungkin anda bertanya, apa indikator saya mengatakan itu? Simpel, terlihat dari semakin banyak orang memberikan tagar #WengerOut hingga #WengerDie dalam status soial media mereka, yang padahal orang ini bukanlah seorang goonerssejati. Besar kemungkinanya, kalau mereka hanyalah orang yang sangat-sangat tidak suka dengan Arsenal. Kenapa bisa begitu? Mari kita bahas satu persatu kemungkinan alasannya.

Pertama, lebih kepada faktor Arsene Wenger. The Professor sebutannya, namun kelakuannya terkadang kurang mencerminkan karakter professor yang sangat wisedan bijak dalam bertindak. Layaknya seorang "Gatusso"untuk level berbeda, Wenger menolak untuk keluar dari Arsenal sejak beberapa tahun terakhir. Terlalu banyak dalil yang dikemukakan. Jika alasannya menjadi the next Fergie, C'mon Wenger sudah melampauinya dari jumlah pertandingan dan tahun berbakti (jelas bukan dari gelarnya). Banyak orang yang menginginkan Wenger keluar dari Arsenal, kira-kira kenapa? Itu yang akan menjadi alasan kedua.

Kedua, melanjuti jawaban dari nomor satu, banyak orang yang sudah bosan dengan Wenger. Yes, B-O-S-A-N, menjadi motor utama dari alasan kedua ini. Sebagian orang menginginkan Liga inggris yang kompetitif dan terus menjadi Liga paling menarik didunia. Namun, dengan masih becokolnya Wenger disana,peluang sebagian orang untuk menyaksikan Liga Inggris yang terus berkembang menjadi tersendat. 

Banyak orang yang berandai-andai jika Wenger digantikan oleh Thomas Tuchel atau Unai Emery, bahkan Thiery Henry. Pasti EPL akan menjadi sangat seru. Jawabnya karena darah muda. Penonton menginginkan pelatih berdarah muda atau baru, karena akan menciptakan strategi baru yang bukan strategi sama dari 20 puluh tahun lalu.

Alasan ketiga adalah penonton yang ikut merasakan kegeraman penggemar sejati. Pecayalah rasa benci bisa menular. Ga percaya? Coba cari saja dalam buku-buku teori Psikologi. Para pendukung sejati (Gooners) saja sudah sangat jengah dengan Wenger. Jengah dengan strateginya, jengah dengan puasa gelarnya, jengan dengan kebijakannya, hingga jengah dengan keras kepalanya untuk tidak mau berhenti. Perasaan benci itu menular, hingga banyak orang ikut-ikutan berkata Wenger Out, yang jika diteruskan akan berujung kepada benci dengan klub Wenger bernaung: Arsenal.

Ilustrasi (gunnerstown.com)
Ilustrasi (gunnerstown.com)
Keempat adalah permainan yang monoton. Penonton ingin menonton pertandingan yang berkelas, itu kenapa mereka memilih Liga Inggris dibandingkan Liga Italia. Strategi taka-tiki yang diterapkan oleh Guardiola di Manchaster city menjadi sangat menggiurkan untuk diikuti. Atau lihat saja permainan Burley dan Leicester City yang sangat ajaib dan serba cepat. 

Tetapi, cobalah lihat Arsenal. Mereka masih saja bermian dnegan model yang sama. Umpan-umpan cepat yang memang bagus, tapi its so yesterday. Dulu ketika tahun 90an hingga 2000 pertengahan, permainan ini memang menarik. Sangat elektrikal, yang diucapkan seorang pelatih terkenal kala itu. Tapi sekarang? Jaman berubah, saatnya permainan juga diubah.

Berhubungan dengan alasan keempat strategi, yang kemudian menjadi reasonkelima adalah soal formasi dari Arsenal yang terlalu sering berubah. Ketika masa keemasan yang disimbolkan lewat King Henry, formasi 4-4-2 menjadi gacoan utama, yang selalu tertera di layar sebelum pertandingan. Permainan yang menarik, ditunjang oleh strategi dan formasi yang tepat. 

Masalahnya, hampir setiap musim Wenger selalu mencoba formasi baru yang terkadang menjadi sangat absurd. Pola 4-3-3. 4-3-2-1, 4-2-3-1, hingga 4-6-0 sudah pernah dicoba Wenger setiap musimnya. Penonton dibuat geleng-geleng kepala melihat bagaimana Wenger ingin menyulap Mesut Oezil dari yang "bawaan lahirnya" sebagai seorang playmaker sejati, diubah menjadi seorang winger. 

Belum lagi formasi 3-5-2 yang coba diterapkan selama musim lalu, yang jelas-jelas formasi ini mempunyai celah terlalu banyak. Lebih tepatnya, Wenger sudah tidak terlalu canggih menanggapi percepatan strategi yang terus berubah. Namanya juga orang tua.

Keenam adalah, pemain bintang yang mendekati kelas medioker. Arsenal bolehlah sebuah klub dengan cerita masa lalu yang besar. Namun melihat permainan serta pemainnya saat ini. Sungguh sangat biasa. Penonton rindu dengan sebelas pemain bintang yang biasa bercokol di starting line up Arsenal. Henry, Bergkamp, Overmars, hingga Sol Campbell. 

Kurang ciamik apa coba?. Namun sekarang? Bukannya merendahkan, jika melihat starting eleven yang berisi Chalum Chambers, Rob Holding, Elneny, hingga Iwobi bukanlah starting eleven yang seharusnya ada di list klub "sekeren" Arsenal. Andaikan list pemain tersebut bercokol di klub macam Swansea atau Stoke City, kita sebagian masih paham.

Iwobi dan Rob Holding (Arsenal Media)
Iwobi dan Rob Holding (Arsenal Media)
Ketujuh, Masalah transfer pemain yang carut marut. Menyambung list pemain yang dirasa kurang kece untuk ukuran klub sebesar Arsenal, transfer pemain yang dilakukan Wenger beserta manajerial Arsenal juga patut disalahkan. 

Melihat beberapa transfer pemain hebat yang lepas begitu saja, hingga pertukaran pemain Cuma-Cuma, bukan menggambarkan kehebatan klub sebesar Arsenal. Pernah melihat starting eleven (bayangan Wenger andai pemain incaran nya tidak lepas?), didalamnya tercantum nama Messi dan Ronaldo. Namun apa dikata, yang ditangkap melebih skillkedua pemain tersebut: Lord Bendter.

Alasan selanjutnya yang kedelapan, termasuk alasan yang bikin geram kita sebagai penonton yang hanya menonton dan mengikuti berita Arsenal sesaat saja. Jujur saja, Arsenal sering mengecewakan untuk salah satu klub yang menyandang nama besar. 

Mereka terlalu mudah untuk kalah di beberapa pertandingan melawan tim gurem, atau pertandingan yang masing berada di stage atau babak awal kompetisi. Masih ingat beberapa minggu lalu, Arsenal disingkirkan Nottingham Forrest di putaran ketiga piala FA. Coba diingat-ingat lagi, posisi Arsenal sebagai apa? Yup, 100. Sebagai JUARA BERTAHAN.

Kesembilan, alasan yang terkadang menjadi kita ikut sebal dengan Arsenal adalah bahwa mereka selalu mengagungkan diri sebagai klub besar di Inggris. Okelah, mereka adaah salah satu klub tertua yang berdiri di Inggris. Klub besar? Belum tentu, kalau jawabannya masa lalu, baru boleh. Nah, yang menjadi masalah adalah, jika memang Arsenal dikatakan dan (sering) mengatakan sebagai klub besar, Just Act like it. Buktikan kalau mereka memang klub besar. Bukan hanya klub yang besar pada jaman dahulu.

Indikator utama yang menjadi bukti sebuah klub besar adalah gelar. Itu yang menjadi alasan kesepuluh. Arsenal terkenal sebagai klub yang nirgelar besar. Mereka terlalu sering meraih gelar minor. Piala FA (13 kali) dan Community Shield sebanyak 15 kali adalah menjadi gelar terbanyak yang bersemayam di lemari klub. Gelar besar yang paling mendekati adalah kemenangan terakhir sebagai juara Liga Inggris, which is itu adalah 14 tahun terakhir. Bukti lagi? Mereka pernah sangat-sangat nyaris menang Liga Champions. Tapi ya karena mereka adalah Arsenal, maka mereka dengan baik hati menyerahkan piala kuping besar itu ke Barcelona.

sumber gambar: graphicsbuzz.com
sumber gambar: graphicsbuzz.com
Alasan berikutnya, yang menjadi alasan kesebelasadalah Arsenal terlalu sering menyulap seorang pemain medioker menjadi pemain bagus, dan setelah itu dijual begitu saja. Mau contoh? Chamberlain, Walcott, Laurent, Gibbs dan masih banyak jika ditelusuri satu persatu. Terkadang kita sebagai penonton ingin melihat seorang pemain yang loyal membela klub dua digit tahun lamanya. 

Rasa-rasanya di Arsenal saat ini, hal tersebut sangat sulit terjadi. Sudah terlalu lama mengingat ada nama Tony Adams yang cinta mati dengan klub London. Saat ini hanya Laurent Konscienly yang mendekati tingkat "loyalitas tersebut". Terkadang jika penonton melihat ada pemain yang loyal dengan sebuah klub, maka artinya klub tersebut mempunyai respek besar.

Alasan keduabelas, sangat didukung oleh perkembangan jaman saat ini. Sosial media menjadi alasan yang sangat kuat untuk melatarbelakangi "cerita" ini. Jika Arsenal bermian terlalu sering banyak bermunculan tagar-tagar berbau cemooh dan ke"bete"an dengan Arsenal. Ga percaya? Lihat saja kalau Arsenal kalah tanding karena sebelas alasan diatas. Pasti Arsenal langsung menjadi trending topik di media sosial, bukan hanya dilingkup Indonesia, tapi lingkup dunia. Mau cari meme yang membahas Arsenal? Jumlahnya mengalahkan seluruh gabungan gelar Manchester united, AC Milan, Barcelona dan Real Madrid.

Finally, alasan ketigabelas yang menjadi alasan terakhir adalah kutukan hingga nasib yang memang patut untuk ikut kita benci. Layaknya nasib orang yang sudah tau salah, dan sudah paham akan seluruh kesalahannya, namun tetap keras kepala tidak mau berubah. Kalau anda paham bahasa jawa, kata "mbalelo" sangat tepat menggambarkan Arsenal saat ini. Kalau alasan nasib masih dirasa kurang, kata kutukan mungkin menjadi jawabnya. Dimana biasanya kalau kutukan, dapat terlepas jika sudah memenuhi apa yang diinginkan oleh sang pemberi kutukan. Masalahnya, siapa ya yang mengutuk?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun