Mohon tunggu...
Thea Alethia
Thea Alethia Mohon Tunggu... Mahasiswa - student

hi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Resensi Merantau ke Deli

4 Oktober 2021   18:55 Diperbarui: 4 Oktober 2021   19:15 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: Merantau ke Deli

Penulis: Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)

Tebal buku: 189 halaman

Penyunting: Dharmadi

Penerbit: Gema Insani

ISBN: 978-602-250-338-3

Poniem, perempuan asal jawa dan istri mandor besar dan dianggap sebagai piaraan atau simpanan bertemu dengan Leman, orang Minangkabau yang pada saat itu sedang merantau ke Deli dengan harapan untuk sukses dalam perdagangannya. Dimulai dari Leman, seorang pedagang dan pemilik kedai, yang berdagang dekat kebun Poniem dan merasa tertarik kepadanya sehingga bibit-bibit cinta mulai muncul. Ketertarikan itu meningkatkan hasrat Leman untuk merebut hati Poniem dan mereka pun menikah dengan harapan akan bersama  satu sama lain selamanya. Dengan semangat, mereka menjalani kehidupan pernikahan yang penuh suka dan duka.

Tantangan Poniem dan Leman dalam menjalani peran sebagai suami istri sedikit demi sedikit terlihat. Ketidakcocokan dan kelabilan sudah mulai muncul terutama dalam prinsip adat mengenai cara pandang hidup. Selain itu, masalah finansial juga harus ditanggung oleh mereka akibat perdagangan Leman yang mengalami kemunduran dimulai dari kurangnya laba, modal, dan perdagangan yang sepi. Leman awalnya tidak ingin melibatkan masalah ini kepada Poniem, namun Poniem melihat tipisnya bungkusan dagang suaminya. Setelah berkomunikasi dengan Leman, beliau menjual harta-hartanya sebagai modal untuk dagangan suaminya. Sejak itu, mereka yakin sepenuhnya atas keadaan pernikahan yang didasari perspektif yang kuat akan pertolongan Allah dan cinta suami istri sejati.  

Namun, tantangan-tantangan yang mereka lewati tidak sedikit pun sebanding dengan tantangan selanjutnya yang sungguh menarik sekaligus mengejutkan, yaitu kunjungan mereka ke Kampung Leman. Terlepas dari orang kampung Leman yang sangat menyenangi kebaikan budi dan kesopanannya, mereka tetap tidak menerimanya berhubung Poniem bukan orang Minangkabau. 

Selain itu, kunjungan balik ke kampungnya, keluarga yang kurang menyetujui pernikahannya, serta nasihat-nasihat orang Minangkabau yang mendorong Leman untuk menikah dengan perempuan satu suku dengannya, terngiang-ngiang di benaknya dan menyebabkan Leman berpikir tentang pernikahannya dengan Poniem. 

Apalagi ia belum berhak mendapat gelar terhormat sebagai sultan sebelum ia menikah dengan perempuan asal Minangkabau dan beliau juga wajib menikah di kampungnya. Bahkan, apabila ia dan Poniem dianugerahi seorang anak, anak tersebut juga tidak bisa dikatakan sebagai garis keturunan orang Minangkabau.

Ternyata, ia memutuskan untuk bertemu seorang gadis Minangkabau bernama Mariatun yang berpotensi untuk menikah dengannya. Ketika Leman menjatuhkan mata pada Mariatun, ia langsung terkagum-kagum dan wajah perempuan itu terus terbayang oleh Leman. 

Adat Minangkabau yang bersifat menuntut dan keras menimbulkan kebimbangan dan kekhawatiran Leman mengenai keputusan Leman untuk menaati adat Minangkabau atau tetap bersama Poniem yang masih ia sayangi dan berjanji untuk tidak menduakan ataupun meninggalkannya. Konflik-konflik semakin membara dan menegangkan seiring berjalannya cerita, dimana pilihan Leman sangat signifikan karena menentukan nasib-nasib para tokoh lainnya.

Setahun setelah Hamka menuliskan dan menerbitkan buku Di Bawah Lingkungan Kabah, novel Merantau ke Deli ini diterbitkan. Novel yang berorientasi pada kisah seluk beluk lelaki asal Minangkabau dan perempuan asal Jawa yang memutuskan untuk menikah dengan perbedaan adat yang sangat signifikan, serta bagaimana watak kedua tokoh dan perilaku berkembang sepanjang berjalannya cerita. 

Selain itu, novel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulis yang membuat novel ini istimewa, berhubung Hamka sempat berprofesi sebagai wartawan sekaligus guru agama di Pasar Bajalinggai dekat Tebing Tinggi di Deli saat tahun 1928, sebelum ia menggapai cita-citanya sebagai ulama dan sastrawan.

Keunikan ini sungguh istimewa karena jarang dimiliki buku lainnya yang mungkin sebagian besar novel non fiksi pun tidak miliki. Hal ini juga terbukti dengan kespesifikan penulis mengenai penjelasan tentang kota Deli. Ditambah, pemberian gambar-gambar kota Deli yang tertera pada setiap awal bab pada zamannya mendukung pembaca mengikuti dan menghayati cerita.

Novel yang begitu menagihkan dan tidak membosankan karena kemampuan penulis menuliskan alur dengan rinci dan tidak adanya alur maju atau mundur yang berpotensi membingungkan pembaca, serta kata-kata yang digunakan adalah kata-kata sehari-hari sehingga cerita mudah dipahami. 

Selain itu, pengetahuan baru mengenai adat Minangkabau yang sangat kuat juga tertera dengan jelas dan lengkap, dimulai dari syarat menikah, kewajiban saat mempunyai anak, dan peraturan dalam pernikahan. Bahkan, perspektif dan cara pandang suku Minangkabau yang juga dijelaskan sepanjang cerita menonjol di alur.

Selain dari kejelasan penyampaian alur, pendeskripsian tentang tempat-tempat yang dikunjungi juga tidak kalah keren. Pendeskripsian yang sangat rinci membuat pembaca mampu membayangkan tempat pada zaman itu sebab disertai latar suasana, latar waktu dan kata-kata sifat yang menjelaskan lokasi. 

Hal ini tampak saat Hamka menuliskan tentang Deli, yaitu Deli yang ramai dan riuh pada setiap awal bulan, banyak orang bermain judi, ratusan kuli bekerja, dan para pedagang yang sering berteriak memanggil anak-anak untuk membeli barang dagangannya, yang tertera di bab satu. Oleh karena itu, berpotensi untuk memenuhi rasa keingintahuan pembaca atas kondisi tempat-tempat zaman dahulu.  

Meskipun penyampaian secara implisit, sangat terlihat bahwa penulis kurang menyukai dan menyetujui aturan-aturan adat Minangkabau, berhubung Hamka adalah orang asli Minangkabau. 

Ia seperti menyindir secara halus pada saat mendeskripsikan orang-orang suku Minangkabau. Orang-orang Minangkabau yang tidak menghargai sikap Poniem yang sopan dan berbaik budi, melainkan hanya melihat aspek asal Poniem, yaitu Jawa, dan menyarankan Leman untuk menikah lagi dengan gadis lain yang bersuku Minangkabau.

Novel ini juga berbeda dengan buku-buku generasi lama yang mungkin membuat pembaca bingung karena kata-kata asing atau kurang familiar. Pada novel Merantau ke Deli, penulis menjelaskan kata-kata yang ia tulis dengan bahasa asing, seperti poenale sanctie, voorschot, dan wervers. 

Hal ini memainkan peran sangat penting dalam novel karena pembaca menjadi mampu mengikuti alur cerita secara lengkap dan mendorong keinginan pembaca untuk lanjut membaca. Ditambah dengan ejaan dan kata-kata yang sangat sesuai saat menggambarkan keadaan di cerita. 

Adegan marah, sedih, dan bingung dengan intonasi dan nada, seperti pemilihan kata dan tanda baca untuk intonasi marah tersampaikan dengan sesuai. Penulis juga mampu menceritakan setiap kesulitan tokoh dengan sangat baik sehingga pembaca bisa merasakan beratnya masalah yang dialami setiap tokoh, seolah-olah pembaca disihir oleh penulis untuk masuk ke dalam cerita.

Masalah-masalah yang dipaparkan adalah salah satu daya tarik pula. Hal ini adalah keunikan dan kelebihan karena bisa memenuhi rasa pengetahuan pembaca mengenai sejarah Indonesia dalam aspek lokasi, masalah sosial, dan kebudayaan. Masalah suku-suku daerah kuno Indonesia yang kerap jarang terjadi di era modern ini. 

Bagaimana perempuan diperlakukan oleh suami dan hak perempuan juga bisa diamati perbedaan yang sangat distingtif. Seolah-olah melihat evolusi masyarakat Indonesia dalam menanggapi masalah dalam pernikahan serta melihat juga fleksibilitas aturan antar suku atau masyarakat Indonesia.

Sayangnya, pembaca masih berpotensi untuk bingung karena peletakkan kata dalam beberapa kalimat memang kurang teratur, berhubung ini adalah karya novel sekitar 80 tahun yang lalu. Alangkah baiknya, beberapa posisi kata teratur dan kata-kata dalam kalimat dalam novel ini ditulis dengan tanpa berbelit-belit sehingga mempermudah proses membaca di kalangan umur apapun. 

Meskipun begitu, cerita mengandung tidak hanya alur yang menarik dan seru, tetapi juga sangat berkualitas dalam aspek pengetahuan sosial mengenai adat-adat, sejarah indonesia, variasi aturan adat, bagaimana perempuan dipandang dan diperlakukan pada pada zaman itu, perbedaan hak-hak suami istri menurut suku tertentu, daerah-daerah di Indonesia, dan pastinya amanat yang sungguh menggerakan hati pembaca.

 Oleh karena itu, saya merekomendasikan ke semua kalangan umur terutama remaja karena mengandung nilai-nilai hidup seperti daya juang, kebijaksanaan, dan cinta kasih yang sangat bermanfaat untuk diterapkan sebagai moral-moral hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun