Tawuran antar pelajar sesungguhnya bukanlah fenomena baru di Indonesia. Di banyak tempat, tawuran antar pelajar yang berbasis kelompok pelajar atau genk-genk menjadi pemandangan yang tidak asing. Bahkan di suatu sekolah menengah pertama di Sumenep Madura, tempat dimana penulis berasal, genk-genk itu membentuk suatu pola kaderisasi yang terus berlanjut hingga saat ini.
Mereka menasbihkan diri sebagai kelompok genk A yang bermusuhan dengan genk B, genk C yang berkawan dengan genk D, dan seterusnya. Tanpa mengerti permasalahan subtansial apa sebenarnya yang mereka ributkan. Itulah gambaran tentang mereka, sekolompok "anak asuh" yang belum mampu berfikir selayaknya orang dewasa. Mereka hanya ingin tau banyak hal diluar mereka, termasuk tentang pergaulan. Sehingga keingintahuan mereka ketika terakomodir dalam suatu tempat yang salah, berakibat pada suatu action yang salah pula.
Yang ingin penulis katakan, mereka yang terlibat dalam aksi tawuran belum tentu selalu mereka yang berwatak buruk, kurang perhatian orang tua, atau mereka yang tidak punya potensi dan prestasi akademik. Kebanyakan yang tampak oleh kita boleh jadi demikian. Namun, tidak dapat kita pungkiri masih banyak dari mereka yang awalnya sekedar mengikuti keingintahuan mereka dengan ikut-ikutan "senior"nya. Ketika hal itu dilakukan secara terus menerus, tak pelak dengan sendirinya menjadi candu. Tawuran pun terus berlanjut dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, membentuk genk-genk baru dengan aksi-aksinya yang baru dan lebih anarkis.
Pada aspek inilah yang perlu diperhatikan oleh kita bersama. Bagaimana kita dapat menarik mereka dari tempat yang salah itu ke dalam suatu tempat yang mampu mengubah perilaku mereka kearah yang lebih positif. Sehingga tidak ada lagi kaderisasi yang mereka lakukan untuk terus menciptakan rivalitas (musuh-memusuhi) yang tidak ada gunanya itu. Menurunkan petugas keamanan sepeti Satpol PP, atau bahkan TNI di pos-pos tertentu hanya akan mampu meredam sesaat. Setelah petugas mulai lengah, pos-pos tidak dijaga, tawuran bukan tidak mungkin akan kembali pecah.
Yang diperlukan dilakukan untuk menghilangkan asap tentu dengan meredam api yang menjadi sumber asap tersebut. Sama halnya dengan fenomena tawuran, yang perlu dilakukan sebenarnya adalah dengan membubarkan fenomena genk-genk pelajar agar tidak lagi berkembang. Ketika genk-genk itu tidak lagi berkembang, maka tawuran tidak akan lagi bisa diorganisir oleh pelajar. Karena diakui atau tidak, tawuran sesungguhnya merupakan perkelahian yang terorganisir secara massal oleh genk-genk pelajar tersebut.
Maka menurut hemat penulis, pada dasarnya mereka hanya butuh pendampingan-pendampingan, baik secara akademis maupun psikologis. Bentuknya, bisa dengan mengubah mereka menjadi kelompok-kelompok yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang positif. Misalkan memberikan mereka ruang untuk berekspresi baik yang bersifat intra (di lingkungan sekolah) ataupun ekstra (di luar sekolah). Dengan kata lain, kelompok-kelompok seperti mereka harus diketahui oleh pihak sekolah, lalu kemudian diakomodir menjadi sekelompok pelajar yang berguna dan berprestasi.
Bila hal itu dapat dilakukan, lambat laun genk pun akan berubah menjadi tempat yang positif bagi para pelajar. Sementara tawuran hanya akan menjadi cerita masa lampau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H