Mohon tunggu...
Herman Wahyudi
Herman Wahyudi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga\r\nOrganisasi: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-Yogyakarta)\r\nMulai menulis sejak: 2009\r\nMinat: Membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

PT KAI di Bawah Stakeholder Nakal?

12 Oktober 2010   08:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:29 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sejarah perkeretaapian di indonesia, peristiwa kecelakaan (baca: tabrakan) KA Argo Bromo Anggrek dengan Senja Utama di Petarukan Pemalang Jateng bisa dibilang tidak seberapa dibanding yang terjadi pada kecelakaan KA tahun 1987 di Bintaro. Dimana KA 225 jurusan Rangkasbitung-Jakarta terlibat tabrakan dengan KA 220 jurusan Tanah Abang-Merak, yang menewaskan sedikitnya 156 orang dan 300-an orang luka-luka. Akan tetapi, ia cukup memberi isyarat betapa tradisi maut di gerbong KA tidak akan pernah tuntas hanya pada titik mempersoal "kambing hitam".

Menurut data yang dikeluarkan Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, setiap tahunnya terjadi kecelakan antara 90 hingga 150 kasus. Tercatat pada tahun 2008 terjadi kecelakaan sebanyak 147 kasus, tahun 2009 dengan 90 kasus, sedangkan pada tahun 2010 hingga 31 Juli sudah terjadi 32 kecelakaan kereta api. Baik yang meliputi tabrakan antarkereta, tabrakan KA dengan kendaraan bermotor, dan anjloknya KA. Dengan dominasi 25 hingga 35 persen faktor human eror.

Demikian itu menjadi bukti nyata bahwa amanat UU No 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian agar road map zero accident tercapai tidak begitu dipedulikan -untuk tidak mengatakan diabaikan­- oleh para stakeholder terkait. Mereka lebih mementingkan dimensi bisnis daripada pelayanan publik. Padahal pelayanan publik adalah faktor terpenting dalam mempengaruhi dimensi bisnis. Sekalipun dikatakan bahwa akhir-akhir ini PT KAI mengalami berbagai macam kerugian, tidak etis rasanya bila harus mempertaruhkan keselamatan publik.

Dengan kondisi yang seperti ini, jangankan bermimpi muluk mengembalikan kejayaan moda transportasi KA seperti pada masanya, menghapus identitas "maut di gerbong KA" saja mungkin membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Karena permasalahannya bukan lagi soal kecelakaan biasa, melainkan kecelakaan yang terlestarikan. Mengapa demikian?

Tak terbantahkan, sebab pada hakekatnya, selama ini kasus kecelakaan transportasi KA hanya berhenti pada titik peng-kambing hitam-an oknum tertentu, seperti menyalahkan masinis, operator, penjaga pintu rel, dsb. Selebihnya adalah penegasan, kata-kata dan janji-janji "tong kosong" atau (meminjam istilahFarman Exon, Ssos) sebagai lip service dari pada stakeholder bersangkutan.

Kebiasaan nakal inilah yang semestinya pertama kali perlu disalahkan. Bukan justru pada sisi yang paling mikro. Dalam arti, siapapun yang menjadi sebab terjadinya kecelakaan KA. Stakeholder adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Demikian bukan berarti penulis hendak menyebut Kementrian Perhubungan, Kementrian Negara BUMN dan Direksi PT KA yang paling bersalah.

Mungkin, sistem perkeretaapian indonesia memang perlu belajar dari eropa dan amerika yang telah behasil menjadikan moda transportasi KA sebagai salah satu moda transportasi yang nyaman dan ekonomis. Sebagai ikhtiar, Global positioning system (GPS) ala ITB tidak ada salahnya untuk dicoba sebagai salah satu upaya pembenahan system perkeretaapian mendatang. Atau seperti rencana (sudah diregulasikan) Positive Technology Control (PTC) ala AS yang ditargetkan terpasang di semua pengangkutan kereta dan rel sebelum Desember 2015.

Akhir kata, sekalipun mencari siapa yang salah di balik kecelakaan KA (baca: jalur hukum) adalah keharusan administratif, namun demikian bukanlah suatu hal yang paling urgen. Apalagi harus terperosok pada persoalan politik kambing hitam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun