Mohon tunggu...
riyadho umayah
riyadho umayah Mohon Tunggu... -

perjuangan tanpa batas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Inner Call for Ma'rifat

20 Januari 2010   18:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya: "Manusia diciptakan untuk beribadah!! Segala jawaban telah ada di Qur'an!!" Oke, tapi ibadah yang seperti apa? Bisakah kita benar-benar beribadah, tanpa mengetahui maknanya? Atau lebih jauh lagi, mampukah ia menjangkau makna Qur'an?

Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika qur'an benar, mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur'an seperti kitab suci yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat, dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak? Jika kita beriman, apakah iman itu? Apakah takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz? Apakah Ad-diin? Apakah Shiratal Mustaqim? Jalan yang lurus yang bagaimana? Mengapa qur'an terasa abstrak dan tak terjangkau makna sebenarnya? Ini
sebenarnya pertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali bukan menghakimi qur'an.

Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya sendiri, padahal qur'an sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu menjangkaunya selain orang-orang yang disucikan/ Al-mutahharuun, (QS 56:77-79).

[Q.S. 56] "Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan/ Al-muthahharuun (79)."
Apakah dia berani yakin bahwa dia adalah seorang yang telah disucikan, sehingga makna qur'an telah terbentang begitu jelas dihadapannya? Jika demikian, apa implikasi pernyataan : "Semua jawaban telah ada di Qur'an" baginya? Apakah ia akan terus saja membohongi diri dengan membaca terjemahan qur'an dan memaksakan diri meyakini bahwa ia telah mendapatkan maknanya?

Jeritan jiwanya tersebut ia timbun dengan segala cara. Ia tidak ingin mendengarkan-nya. Hal ini, sudah barang tentu akan membuat seseorang semakin terperangkap saja dalam rutinitasnya, dan semakin terkuburlah potensi pencariannya akan kebenaran. Padahal seharusnya 'jeritan jiwa' tersebut didengarkan. Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita akan pergi bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita akan berhenti menangis dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita mencari tahu, kenapa anak kita menangis?

Kembali kepada kisah Musa as. Demikian pula Musa, ia pun, sebagaimana kita semua, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari dalam dirinya. Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya ada. Allah, untuk menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak terkubur dalam kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan kebingungan yang lebih besar lagi.

Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah membantai jutaan bayi lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh, dan memang patut diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa dirinya sendiri ternyata merupakan seorang anak Bani Israil, keturunan warga budak kelas dua, yang dipungut dari sungai Nil. Pada saat ini, pada diri seorang Pangeran Musa lenyaplah sudah harga
dirinya. Hancur semua masa lalunya. Dia seorang tanpa sejarah diri sekarang. Ditambah lagi ia telah membunuh seorang lelaki, maka larilah ia terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir, mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya.

Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting bagi seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram subur oleh Allah dengan air kegalauan: "Siapa diriku sebenarnya?".

Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa as., dan sebagaimana kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah ta'ala, yaitu Nabi Syu'aib as, yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput Musa dan membawa Musa kepadanya.

Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya "arafa nafsahu", untuk "arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri". Dan dengan bimbingan Syu'aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah 'arif), bahwa dirinya diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa Bani Israil, bukan sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali misi hidupnya, tugas kelahirannya yang untuk apa Allah telah menciptakannya. Ia telah menemukan untuk apa dia diciptakan, yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:

"Setiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu." (Shahih Bukhari no. 2026)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun