Mohon tunggu...
tharra sabbih
tharra sabbih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Information Systems Student at Universitas Indonesia

Forever learner.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Strategi Preventif dalam Penyaringan Kandidat Bertalenta: Lakukan Background Checking Media Sosial

13 Juli 2021   14:30 Diperbarui: 13 Juli 2021   15:58 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kita hidup di zaman dimana alat komunikasi menjadi sangat "demokratis". Setiap orang dapat secara bebas mengungkapkan isi pikiran/perasaan mereka di hadapan publik.  Selain karena gratis, media sosial menjadi salah satu alat yang paling sering digunakan untuk berbagi karena pengguna dapat terhubung satu sama lain hanya dengan membuat sebuah akun. 

Selain agar terhubung satu sama lain, media sosial juga memfasilitasi pengguna untuk mengunggah foto/video, memberikan komentar, dan juga membagikan informasi yang dianggap relevan. Dewasa ini media sosial juga dimanfaatkan untuk mengekspresikan minat dan bakat seseorang melalui unggahan karya mereka. Menurut Nasrullah (2016), media sosial memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya dengan cara berinteraksi, bekerjasama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain, dan membentuk ikatan sosial secara virtual (Kertanegara et al., 2020).

Dalam suatu perusahaan, rekrutmen merupakan proses mencari dan mendapatkan calon karyawan potensial dan berkualitas guna memilih orang yang paling tepat untuk memenuhi menempati posisi yang dibutuhkan (Setyawati, 2020). Menurut survei CareerBuilder, 70% rekruter menggunakan media sosial untuk menyaring kandidat selama proses perekrutan. 

Banyak dari perusahaan melakukan screening terhadap akun media sosial untuk memastikan bahwa seorang kandidat akan cocok dengan perusahaan mereka (Salm, 2017). Selain itu, sekitar 47% perusahaan tidak menghubungi kandidat untuk tahap seleksi selanjutnya seperti wawancara, jika kandidat tidak ditemukan secara online. Salm (2017) juga mengatakan bahwa perusahaan seringkali mengumpulkan lebih banyak informasi sebelum memanggil kandidat, dan 20% dari mereka ingin melihat keberadaan kandidat secara online. Perusahaan melihat LinkedIn sebagai resume sekunder dan situs media sosial lainnya seperti Instagram dan Twitter, sebagai ranah yang lebih pribadi.

  1. Pencegahan potensi berulangnya riwayat perilaku buruk

Budaya organisasi adalah karakteristik dan pedoman yang dijunjung oleh setiap individu yang ada di perusahaan (Naomi, 2020). Dalam proses penyeleksiannya, selain bertujuan untuk mendapatkan talenta terbaik bagi perusahaan, rekruter juga akan berhati-hati dalam menyeleksi kandidat agar tidak merugikan perusahaan secara kultur, citra, maupun rahasia perusahaan. 

Hal ini berkaitan erat dengan perilaku seseorang dalam menggunakan media sosial seperti halnya; mengunggah ujaran kebencian, penggunaan obat-obatan terlarang, konten ilegal, komentar negatif, ancaman, serta informasi rahasia yang diungkapkan tentang perusahaan sebelumnya. Michael Erwin, penasihat karir senior dan juru bicara CareerBuilder mengatakan, "Pesan untuk para pencari kerja adalah gunakanlah akal sehat, jika Anda sedang mencari pekerjaan atau tahu Anda akan melakukannya, pastikan media sosial Anda menampilkan Anda dengan cara yang akan membuat perusahaan ingin mempekerjakan Anda." (O'Brien, 2018).

Informasi yang diungkapkan melalui background checking media sosial ini dapat membantu perusahaan melihat Red Flags dari karakter seseorang. Jenis background checking lain seperti resume/cv tidak akan mengungkapkan Red Flags ini, akan tetapi media sosial memberikan informasi yang jelas (Klazema, 2017).

Seperti contoh, menurut Klazena (2017), ketika seseorang pernah menjelek-jelekkan perusahaan atau melontarkan komentar yang menghina secara online, orang tersebut tidak akan menjadi representasi yang baik bagi perusahaan. Sebanyak 79% rekruter juga menolak lamaran seorang kandidat karena konten yang tidak pantas di media sosial berkemungkinan besar untuk tidak dilirik oleh rekruter (Salm, 2017).

  1. Personal Branding terhadap minat terhadap bidang yang ditekuni

Dikutip dari Forbes, memiliki tingkat kehadiran tinggi pada media sosial merupakan aset untuk pertumbuhan karir jangka panjang seseorang (Arruda, 2020). Dalam survei yang dilakukan oleh platform perekrutan Tallo, 87% responden Gen Z melihat signifikansi karier melalui personal branding online. Para pekerja muda dan calon karyawan yang kompetitif ini mengharuskan kandidat dari segala usia untuk meningkatkan permainan personal branding secara online yang mereka lakukan (Arruda, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun